Selasa, 28 Juni 2022

Bertahan atau? - cerpen slide of life_ setor H- 19







Aku memandangi dengan lekat, goresan pena yang baru saja aku bubuhkan pada kertas selembar dalam map merah.


Ah, hanya coretan yang tak beraturan. Namun, begitu besar artinya. Mewakili identitas diri dan tanda kesepakatan persetujuan atas sesuatu.


Gara-gara tanda tangan bisa mengundang kebahagiaan maupun kesengsaraan. Dunia pun bahkan bisa jungkir balik serta mengubah tatanan wajah bumi.


Beberapa hari merenungi untuk mengambil keputusan yang begitu berat dan akhirnya pagi ini tekadku bulat, tanda tangan aku torehkan pada surat gugatan cerai ini. Meski aku tahu ini tindakan yang sangat dibenci oleh Tuhanku.


Kembali rasa penyesalan itu hadir menyesakkan dada. Andai waktu bisa berputar kembali, mungkin saat ini tak perlu menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang kupilih di beberapa persimpangan di masa muda lalu. Nasi telah menjadi kerak, tak bisa mencari di mana terletak salah. Terkadang tersadar, memang mungkin sudah garis tangan jodoh juga oleh Yang Maha Kuasa.


Cinta telah membutakan hati dan akal. Logika tak lagi bisa menerima jutaan alasan penolakan keluarga atas dirimu. Saat itu hanya bahagia ingin kuraih bersamamu, satu-satunya yang mampu bertahta dihati. Nasihat serta arahan orang terdekat kuabaikan. Memilih mengikuti kata hati. Bersamamu pergi menjauh dari penghalang cinta kita.


Manisnya pernikahan hanya diawal saja, setelah buah hati kita lahir. Sifat aslimu keluar dengan berbagai tindak tanduk menyakitkan. Bagai kapal di tengah lautan yang oleng, terdampar dan akhirnya, akan tenggelam.


Peran suami tak kau lakoni dengan baik. Hatiku hancur dengan menahan hati. Tak bisa mengadu pada siapapun. Harus menerima resiko atas pilihan sendiri.


Hati ini, sudah saatnya egois, aku ingin lepas dan bahagia. Anak-anak kita sudah besar, semoga saja bisa memaklumi dan menerima keadaan. Alasan selama ini bertahan, demi anak-anak sudah tak bisa kuberlakukan lagi.


Mati rasa tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Proses panjang menggerogoti perkawinan, bukankah sudah aku berusaha dengan mencoba untuk sabar.


Suami merasa semua berjalan normal, tetapi tiada angin tiada hujan tiba-tiba, mungkin akan kaget setengah mati menerima surat pisah yang kuajukan ini. 


Jangan selalu menyalahkan pihak ketiga tapi lebih ke hati ini yang telah lelah dan mati menimbulkan hambarnya rasa.


Pengorbanan diriku selama ini tak dihargai. Seakan tiada berarti, sering tanpa melibatkanku, mengambil keputusan, tanpa pertimbangan maupun diskusi komunikasi.


Mengenai keuangan kau  tak pernah jujur padaku, bahkan untuk biaya hidup rumah tangga akulah yang harus pontang panting menjadi tulang punggung.


Belum lagi, kau tak mau tahu urusan mengurus rumah tangga. Tak ada niatan tangan mengerahkan tenaga membantuku mengurus anak dan rumah. Keluh kesahku tak pernah kau gubris sementara kau menuntutku untuk menjadi istri yang sempurna.


Kasih sayang perhatian tak pernah tercurah darimu untukku maupun anak-anak. Kau terlalu sibuk dengan duniamu. Sehingga terkadang kita seperti orang asing yang seatap. 


Maaf, untuk hatiku yang tak mampu lagi bersiteguh, dan membersamai nahkoda pernikahan yang terlihat hanya indah di luar saja. Di dalamnya begitu tumpah ruah rasa kesakitan ini. Hidup cuma sekali, lantas untuk apa membersamai orang yang tidak bisa memberikan kebahagiaan?


Pernikahan akan bertahan, selama kedua belah pihak masih sama-sama menginginkan kebersamaan dan jalinan rasa yang saling, bukan hanya sebelah pihak. Luka ini telah menjadi ceruk yang dalam, dan aku tak mau mati dengan hati yang juga mati.


Aku meletakkan kertas tersebut diatas nakas dengan hati-hati di  samping tempat tidur. Menuju kamar mandi. Bersiap akan berangkat ke pengadilan agama.


Ketika aku keluar kamar mandi, keterkejutan menerpa. Aku lihat dirimu berdiri di samping ranjang. Tatapan tajam menghunus, wajah yang dingin, dengan rahang mengeras. serta sobekan kertas kecil-kecil di antara kakimu.


Menguap rasa keberanian yang telah kubangun. Ternyata aku begitu lemah untuk melangkah, aku sendirian. Tanpa suara tercelos dari bibirmu, aku merasa sudah kalah telak. Terdiam, tak bisa lama membalas tatapanmu. Ada kilatan kebencian pada mata itu. Aku mengigit bibir bawah menuju lemari memilih baju daster yang nyaman. Berlalu menuju dapur bertempur dengan bumbu untuk menu makan siang nanti.


Setidaknya kau tau aku pernah membubuhkan tanda tanganku yang tak sampai ke alamat tujuan. Harusnya  menjadikan bahan pemikiranmu. Bahwasanya  aku tak bahagia selama ini.  Mengakhiri ini hanya impian yang berlalu begitu saja. Kembali mencoba menjalani pada sumber kesalahan atas diri sendiri. Biarlah dunia tahunya aku bahagia dengan pilihan hati. Meski sebenarnya saat ini, itu pakai kata 'tapi'. Pengecutkah aku?


~

6 komentar:

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...