Sinar mentari menerobos dari sela-sela lubang angin yang berada di atas jendela. Pagi yang cerah, setelah malam tadi hujan deras menguyur bumi. Sudah beberapa hari ini aku tenggelam dengan kesedihan. Aku mengurung diri di kamar dan tidak begitu berhasrat untuk melakukan aktivitas.
Aku mencoba membuka paksa mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Kantuk masih saja menghinggapi karena malam tadi bergadang. Aku beranjak menuju meja rias. Terlihat pantulan wajah yang menyedihkan. Pipi kurus yang memperlihatkan tulang pipi yang jelas. Sinar mata sembap yang kelam, sayu menatap. Kerutan halus pun mulai kelihatan.
Melihat raut wajah itu, hatiku merasa teriris. Ada luka, duka yang bertandang. Membuat diri menanggung badan dan perasaan. Andai saja kepergian tidak menyisakan rasa sakit. Kehilangan bisa diterima dengan ikhlas. Kalimat bijak tak seindah kenyataan. Terkadang hanyalah kiasan dan hiasan. Kenyataannya amat sangat sukar untuk diterapkan serta membuat masalah kelar. Apa aku harus berjuang? Dan itu hanya sendirian serta dengan cara yang tak masuk akal.
“Aaaa!” Aku berteriak sembari kedua tanganku menyapu peralatan make-up.
Benda-benda yang beberapa bulan lalu aku beli itu berserakan ke sembarang arah. Aku bahagia dengan segala kemewahan. Bermanja-manja untuk memuaskan diri. Salon dan spa hal yang kudamba kini sudah pun dirasa. Berbelanja sepuas hati, barang yang dulu sebatas angan kini sudah di tangan. Barang branded bukan lagi mustahil untuk dibeli.
Waktu itu akan tiba, sebuah perjanjian. Sukacita itu hanya sekejap mata. Kewajiban harus dilaksanakan. Terorpun akan berlanjut. Kekhilafan yang tak bisa dimaafkan. Hasrat terlalu diperturutkan. Setan sudah pun merajai. Rundung kemalangan akan dihadapkan. Dunia dan harta telah membutakan.
Aku merasa dilema, tak bisa berpikir jernih. Tiga malam waktu yang bersedia bertahan. Seandainya ada solusi sebagai jalan menghapus penyesalan. Purnama pertama dengan tumbal yang dipilih sang tuan. Mengapa pula mesti orang yang paling di sayang?
Dia, anak semata wayang. Gadisku sedang berjuang demi masa depan. Bergelut dengan buku di suatu perguruan. Demi sebuah cita ingin membahagiakan. Bukan kah dia salah satu alasanku jatuh kemusyrikan. Ibu janda yang akan mampu mengkuliahkan. Prestisenya tetap terjaga, pergaulannya lancar, tanpa ia harus ikut memikirkan biaya dan kebutuhan.
“Ambil saja nyawaku, tapi jangan puteriku!” Aku berteriak lantang.
“Aku mohon, untuk apa harta ini, untuk apa aku hidup,” aku menjatuhkan diri ke lantai dengan segera bersujud menghadap sebuah boneka kayu yang berada di sudut kamar.
*
Embusan angin yang sapai-sapai mengelitik seharusnya memberi kenyamanan. Tapi tidak denganku. Jalan setapak aku susuri dengan tergesa. Langkah besar bergantian antara kaki kanan dan kiri aku lakukan.
Rumah tua milik Mbah Kerto sebagai tujuan. Boneka kayu usang dalam bungkusan berada di tangan. Benda menyesatkan itu akan aku kembalikan. Bagaimana caranya aku ingin minta pembatalan meskipun dengan pergantian tumbal.
Rambut putih Mbah Kerto yang sebahu berkibar. Sorot mata kemarahan ia tampakkan. Keputusan tak bisa di sangsikan.
“Perjanjian bukan mainan!” Suara parau nan beratnya berseru lantang.
“Syarat harus dipenuhi sesuai keinginan si Tuan kekayaan, tidak akan ada yang bisa pergi dan lari dari kenyataan!” sambung sang juru kunci pesugihan.
“A-ku sa-ja, am-bil nya-waku!” tergagap aku mencoba untuk bernegoisasi.
“Biarkan puteriku hidup!” Keyakinan akan keputusan yang kuambil membuatku memekik.
Tiba-tiba suasana menjadi gelap, seperti malam. Dapat aku pastikan saat aku tiba tadi di gubuk ini hari masih terang benderang.
Boneka kayu bersinar, kedua mata coretan tinta hitam itu menjadi hidup dengan warna merah. Memelotot memandang ke arahku. Aku menciut dan terjengkang. Jantung berdetak kencang. Tenggorokan terasa kering tak mampu bersuara. Diri akan mendekati kematian, apakah ajal amat sangat menyakitkan.
Boneka kayu itu terlihat menyeringai. Sekelebat cahaya merah menyerang tepat mengenai tubuhku.
“Aaa!” aku menjerit tubuhku dikuasai kesakitan. Nyeri yang tak terperi. Pandangan gelap nan pekat. Tubuh terasa melayang pada tempat yang hampa. Napas tersengal-sengal, mataku tak bisa terpejam. Panas dan haus mengiringi rasa sakit yang tiada tandingannya. Suara kekehan terdengar membahana.
“Setelah ini, anakmu pun akan kami rengut nyawanya!”
Itu adalah suara terakhir yang kudengar sebelum kegelapan total akhirnya membawa pergi semua rasa sakitku.
~
Wishh keren buu.. Tema horor nya buat takut malam2 haha
BalasHapushehehe, makasi ya
HapusJangn pernah membaca cerpen ini malam hari yaa😂😂
BalasHapussiang aja ya, hehehe
HapusSerem.... Tapi keren .
BalasHapussyukurlah, hehehe
HapusAda cerita lanjutannya gak ini ya? keren nih epict banget
BalasHapuslanjutan harus mikir lagi, nyari kang ilham alias ide, hehehe
HapusSukaaa bu.. Keren tem horor.. Hihi
BalasHapusAlhamdulillah, makasi ya
HapusIni cerpen juga ya coba laah dibikin cerbung
BalasHapusHehe belum puas kita baca
Nawar haha
cerpen terus, belum mampu buat cerbung, hehehe
HapusSaya gak bisa buat yang beginian ... Ini cocoknya ama bu Ovi,ak Yandri yg jago buat narasi sedemikian apik ...
BalasHapusmasihan belajar akunya, kadang masih oleng soalnya, makasi ya udah mampir
HapusKeren sekali Bu
BalasHapusAlhamdulillah, makasi ya
HapusHoror serem yang Bu .he he ayo terus semangat
BalasHapusSemangat, makasi ya udah mampir
HapusMantaap ceritanya horor pisan...ini bersambung yah bu
BalasHapustidak, hanya sampai disitu, nanti nyari ide lagi ya, makasi udah mampir ya AA'
BalasHapus