Minggu, 12 Juni 2022

Restu Mama-Cerpen teenlit-Setor H3




Aku merasa lelah seharian ini melakukan perjalanan. Tidak membuatku cepat mengantuk untuk terlelap. Aku membolak-balikkan badan. Aku masih mengenang suasana kampung yang tenang serta pondok pesantren si Sodiq yang kukunjungi tadi.  Siang tadi aku iseng ikut Pak Tio-- supirku mengantar ponakannya kembali ke pondok setelah satu minggu liburan ke kotaku. Selama itu kami menjadi dekat dan aku banyak belajar dari Sodiq. Banyak ilmu serta hal baru yang aku dapat dari Sodiq. Aku menjadi tertarik tentang pelajaran agama yang selama ini kuanggap angin lalu.


Sebetulnya aku belum puas jika hanya satu minggu saja kebersamaan dengan Sodiq.Rasanya aku ingin mengikuti jejaknya. Bagaimana ia begitu merdu melantunkan ayat suci yang dihafalnya dengan sistem cicil dan setor. Sodiq juga menjelaskan bahwasanya bukan hanya ketenangan tapi banyak hal baik lainnya yang mengikuti jika kita menjadi tahfiz Al-Quran.


Aku berniat esok hari akan meminta izin kepada mama. Meski sedikit ragu. Mama adalah sosok wanita karier dan pekerja keras. Semenjak Papa tiada perusahaan diambil alih oleh Mama. Mama secara cerdas menjalankan bisnis hingga berkembang pesat. Usaha propertinya bahkan telah membuka cabang di beberapa wilayah tersebar di pulau Sumatera ini. Hal itu membuat Mama terlalu sibuk dan jarang berkomunikasi denganku. Aku remaja yang labil sekolah uring-uringan. Untung saja tidak terpengaruh hal negatif pergaulan. Beberapa waktu lagi kami akan ujian akhir. Momennya akan pas tamat sekolah menengah aku ingin jadi santri saja.

***

Pagi yang cerah, ketika kudapati Bi Sum telah selesai menyiapkan sarapan untuk kami. Aku menuju meja makan sembari menunggu Mama turun. Tak lama kemudian terlihat mama menuruni anak tangga lengkap dengan busana kantoran. Mama dengan gaya trendi berupa celana skinny pants dipadukan dengan baju body fit. Mama begitu anggun dengan sepatu tinggi dan rambut sebahu digerai yang ujungnya berwarna pirang. Mama seperti lebih muda dibanding usia sebenarnya. Tas selempang berwarna coklat susu berada sisi kirinya.


“Hai, handsome. Morning my son.” Mama tersenyum memegang puncak kepalaku.


“Morning, breakfast?” seruku balas menyapa penuh semangat.


“Oh, sorry. Mama buru-buru. Telat ke kantor. Sarapan sendiri ya. Nanti langsung sekolah diantar  Pak Tio. Ok, Honey. Bye!” Mama mengecup keningku lalu berlalu dengan tergesa-gesa.


Aku menghela napas. Selalu begitu, sulit bagi kami menyatukan waktu untuk bercengkrama. Malam ketika aku sudah terbuai dalam mimpi barulah Mama pulang ke rumah. Bagaimana aku akan mengutarakan keinginanku? Ah, aku kesepian. Andai ada Sodiq aku bisa bercerita dan mengikutinya bangun subuh dan salat berjamaah dengannya menuju masjid terdekat.  Hal ini justru membuat tekadku bulat. Memilih rela terikat aturan pondok pesantren. Pola kehidupan teratur dan menenangkan daripada kesepian tanpa arah seperti ini.

*** 

“What are you say?” Mama terkejut dengan mata terbelalak.


Aku menyela waktu kesibukannya  pagi ini. Aku tak ingin menunda lagi mengungkapkan keinginanku.


“Bagaimana masa depanmu, Mama sanggup nyekolahin kamu ke tempat sekolah bergengsi dan go internasional! Mama nggak setuju!” 


“Ma ….”


“Sejak bergaul sama si udik Sodiq itu, kamu jadi berubah.”


“Ma. Please … dengarin penjelasan Vano dulu, M

a.” Aku memohon dengan wajah memelas.


“Oke, berikan alasanmu.” Nada suara Mama sudah mulai melunak.


Aku sedikit lega dan menjelaskan ke Mama alasan serta keinginan hijrah ke arah yang lebih baik. Agama adalah sebagai penuntun kehidupan di dunia hingga akhirat. Tentu saja aku mengutip penjelasan Sodiq kemarin ketika aku bertanya hal yang sama padanya.


“Vano, butuh restu Mama, Ma. Vano ingin menjadi anak yang berbakti serta berguna. Di pondok nanti Vano akan menjadi tahfiz yang kelak akan memakaikan mahkota di kepala Mama di surga. Beri Vano izin, Ma. Karena rido Mama merupakan rido Allah,” terangku dengan mata berkaca-kaca.


Aku  bersimpuh meraih tangan Mama. Menciumi dan menempelkan pada pipiku.


“Masya Allah, Nyonya seharusnya bersyukur Nyah.” Bi Sumi mendekati kami dengan pandangan mata sayu dan terharu.


“Baiklah, anakku. Jika itu maumu. Mama merestui dan mohon doa untuk kita agar lebih baik. Mama menjadi sadar, memang kita terlalu mengejar dunia, hingga lupa akan alam setelah kematian.” Mama meraih pundakku serta menarik diriku pada pelukannya. Alhamdulillah.  Aku akan selalu mendoakan Mama agar mendapat petunjuk dan hidayah, Ma. Aku membatin dalam hati.

13 komentar:

  1. Ya lanjuut nanti kehidupan veno di pesantre akan penuh dengan tantangan. Tantangan apa sajakah yang akan veno hadapi, mari kita tunggu episode selanjutnya .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, harus riset dulu nih, soal e tak pernah mondok si penulisnya๐Ÿ˜๐Ÿ™

      Hapus
  2. Mantap ๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    BalasHapus
  3. Tulisan yang mengispirasi bu, ditunggu kelanjutan nya bu

    BalasHapus
  4. https://arofiahafifi.blogspot.com/2022/06/selamat-jalan-eril.html



    Monggo mampir blog saya

    BalasHapus
  5. Inspiratif, menarik๐Ÿ‘๐Ÿป

    BalasHapus
  6. Wow, sangat menginspirasi Bu. Thanks ilmunya.

    BalasHapus
  7. Latar ceritanya di kampung ya, jadi inget sambel jengkol buatan ibu...

    BalasHapus

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...