Sabtu, 11 Juni 2022

Keasyikan Menulis-Cerpen Horor-setor H2

πŸ’€πŸ‘»πŸ˜ˆπŸ˜±




Aku hari ini memastikan diri serta dengan mantap akan ikut antologi horor. Sebuah genre yang belum pernah kutulis sebelumnya. Tentunya aku harus banyak membaca cerita yang sejenis agar memiliki referensi. Pada grup WhatSapp yang dibentuk oleh admin selaku Penangung Jawab juga memberi materi lepas mengenai genre horor. Aku sangat antusias akan menambah pundi-pundi ilmu kepenulisan tentunya.


Aku memilih menulis saat malam hari. Alasannya lebih tenang dan tanpa harus bolak balik ke lain kerjaan. Suami dan anak-anak sudah terbuai ke dunia mimpi. Malam ini malam Jumat, pas sekali momen yang tepat mengeksekusi apa yang telah ada menari-menari di benakku tadi.


Mulailah aku menuangkan ide pada tulisan. Menentukan alur serta berusaha menimbulkan suasana yang mencekam. Sebuah cerita horor harus mampu membuat pembaca bergidik seram. Pertama sebagai opening yang mengebrak aku menulis tentang adengan seseorang berlari ketakutan. Tokoh cerita tersebut mengalami rasa ketakutan yang teramat sangat. Suasana ditulis dengan teknik memperlihatkan keadaan perasaan maupun latar cerita. Bukan hanya tulisan sekedar memberitahukan. Teknik ini oleh mentorku disebut showing, don't tell.


Hampir satu jam duduk di depan benda petak di depanku. Jari jemariku dengan lincah bergerilya pada tuts aksara maupun sesekali ke numeralnya.  Aku melirik jam bulat yang tergantung di dinding. Jarum pendeknya telah menunjuk ke angka satu dini hari. Suasana hening hanya embusan pendingin ruangan terasa begitu dingin. Aku berdiri menuju ke dapur. Meraih gelas, menyendok kopi serta gula terakhir memasukkan air panas dari dispenser. Aroma harum kopi hitam Arabika menguar begitu nikmat. Aku menyesap secara perlahan dan kembali menuju ke ruangan tempatku menulis. Sekilas dari ujung ekor mataku ada yang melintas di sampingku dengan cepat. Bayangan hitam yang terlihat hanya sebentar. Aku tercenung, ah, mungkin itu hanya halusinasi pikirku.


Cerpen yang kutulis hanya tinggal sedikit lagi. Hanya pada bagian penutup saja lagi. Sengaja pada bagian akhir yang mengejutkan agar pembaca nantinya terperangah. Jika telah selesai tugasku selanjutnya adalah mengedit secara nyata pada tulisan. Apakah sudah sesuai pada kaidah KBBI dan PUEBI. Selanjutnya mengecek isi cerita agar tidak ada yang plot hole maupun cacat logika. Tidak lupa serta mengubah beberapa tatanan kata yang kurasa kurang pas dan tidak efektif.


Akhirnya, pada tegukan kopi terakhir pekerjaan pun kelar. Aku putuskan akan mengirim naskah tersebut besok saja. Sudah terlalu larut jika aku tetap akan mengirimnya malam ini. Tangan kananku menutup mulut akibat menguap. Tubuh yang sudah seperti karung goni ini pun mengeliat. Mencoba meregangkan otot-otot yang kaku akibat fokus menatap layar laptop.


Tiba-tiba lampu padam. Gelap gulita seiring tengkukku merinding. Gegas aku menyambar ponsel dan menghidupkan senternya. Untung saja file  aman karena telah tersimpan. Jika tidak, dapat dipastikan aku akan menangis tersedu-sedu jika hal itu terjadi. Aku menuju ke kamar dengan langkah pelan.  Untuk ke ruangan itu aku harus melalui sekat yang memisahkan dari ruang kerja suamiku ini.


Telingaku menangkap suara berisik benda yang beradu. Bersamaan dengan aroma kapur barus yang menyengat. Tunggu, bukankah ini adegan yang barusan kutuliskan pada naskahku. Mengapa aku turut merasakannya? Ketakutan yang aku gambarkan kini justru yang juga aku rasakan.


Deg!


Jantungku berdetak lebih cepat. Tengorokan seakan kering aku mencoba beberapa kali untuk menelan saliva  yang terasa pahit. Tubuhku gemetar tak mampu untuk melangkah. Seakan terpaku dan tak dapat digerakkan. Dalam hati aku merapalkan doa dan ayat-ayat yang kuingat. Ini? Bukankah? Ya, aku ingat. Ini aku tulis akan ada sepotong kepala yang melayang. Benar saja, belum selesai otak menghubungkan keadaan dengan cerita yang kutulis tadi.


Dari arah depan melayang sebuah benda dengan rambut berkibar. Separuh rambutnya menutupi wajah yang rata. Tanpa ada mata, hidung dan mulut berwarna putih dan separuhnya hitam. Aku terpekik karena terkejut. Sekuat tenaga untuk berlari tapi tak bisa. Tubuhku luruh ke bawah. Pingsan dengan ponsel yang terlepas dan tergeletak di sampingku.


Aku merasakan tepukan halus pada punggungku.


“Ma, bangun. Kok tiduran disini. Azan Subuh sudah berkumandang tuh. Yuk, salat.”


Aku membuka mata dan menaikan kepala dari meja. Ternyata aku tertidur dengan menggunakan tangan sebagai bantal. Badan terasa sakit semua. Aku mencoba mengingat yang terjadi. Apa aku bermimpi? Mimpi hal yang sama dengan naskahku. Apa mungkin? Bisa jadi karena ide itu masih ada dalam pikiran sehingga memasuki alam sadarku.


“Ayok, Ma. Setelah salat serangan fajar ya, Ma.” Lelaki halal yang masih berdiri di sampingku menaikan alisnya berulang kali serta tersenyum penuh arti.


“Ya, Allah. Inilah horor selanjutnya.”


“Apa, Ma?”


“Nggak ada.” Aku cengar-cengir.


“Buruan wudhu.” Suamiku keluar ruangan.


“Mama nulis, kok hpnya di lantai sini.” Suamiku berteriak dari arah luar.


Aku bengong, nah, horor lagi.

~




 

16 komentar:

  1. Luar biasa cara bu mega buat cerita.... Aku suka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, jika suka. Saya akan lebih semangat lagi menulisπŸ™πŸ˜

      Hapus
  2. Tersenyum aja dan mungkinkah ada...


    Nah horor lagi

    BalasHapus
  3. Nah, horor lagi lihat dompet kosongπŸ™πŸ˜πŸ€­

    BalasHapus
  4. Terpesona, keren bu serem tapi endingnya lucu hihiii...

    BalasHapus
  5. Keren banget ceritanya, horor dan komedinya dapat.

    BalasHapus

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...