Minggu, 10 Juli 2022

Menyesal-cerpen slide of life- H-31

 



Adi terus berlari, dengan tubuh yang berkeringat, serta ketakutan yang menyergap. Napasnya memburu di lorong gelap yang panjang tak berujung, Ia seorang diri berlari hingga lelah kehabisan energi, terduduk bersimpuh tertunduk. Menghirup oksigen dengan sekuat tenaga, tubuhnya basah berkeringat. Ia merasa baru saja dikejar makhluk yang besar dan hitam. Kedua tangannya meremas rambut yang basah oleh peluh, ketika Ia mengangkat kepala dilihatnya beberapa langkah dari hadapannya,  Ibunya  datang menghampiri dengan tatapan sendu, menyiratkan kesedihan mendalam. Bibirnya bergetar ingin mengucapkan sesuatu. Tiba-tiba Ibunya hilang menjadi bayangan yang hancur seperti serpihan yang ditiup angin. Adi terkejut berlari dengan cepat berusaha merengkuh bayangan yang lenyap tetapi tangannya hanya mencapai angin. 


Terasa tubuh Adi digoncang, Ia mendengar suara Ibunya.


“Adi! Bangun!” Sutinah menarik selimut Adi.


“Ya, Mak!” Jawab Adi langsung terlonjak, mengambil posisi duduk bersandar pada dinding rumah. Mengumpulkan kesadarannya serta menyadari baru saja mengalami mimpi buruk.


“Kenapa? Mimpi buruk, mukamu aneh?” tanya Sutinah.


Adi hanya menganggukan kepalanya yang terasa berat, karena rasa ngantuk dan kurang tidur. Malam Minggu dihabiskan dengan candu bermain games. Tidur hingga larut, hampir mendekati azan subuh berkumandang  barulah matanya terlelap.


“Bangun! udah jam 11.00 siang ini, tolongin Mak, angkat barang dan menyusun belanjaan kedai.”  Sutinah menepuk bahu Adi lalu berlalu.


Adi masih duduk tercenung mengucek mata, dengan masih memikirkan mimpi aneh tadi, apakah ada arti tersembunyi atau hanya kembang tidur semata. 


“Adiiiiiii!” Terdengar jeritan dari luar, Ibunya yang sedari tadi menunggunya di warung.


“Iya, bentar, ah” sahut Adi seraya beranjak berdiri menuju arah ke luar asal suara teriakkan Ibunya.


Sutinah  seorang janda yang memiliki usaha membuka warung kecil menjual kebutuhan sehari-hari  di depan rumah . Kehidupan mereka bisa dibilang sangat sederhana. Rumah  yang terbuat dari kayu papan yang juga sudah lama, serta mulai lapuk.  Mereka hanya hidup berdua karena sejak Adi di kelas empat SD ibu serta ayahnya bercerai. Ayahnya pun telah menikahi janda beranak satu dan hidup di desa sebelah. Saat ini Adi telah remaja dan duduk di kelas XI SLTP. Tak lama lagi akan melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Ibunya selalu berusaha giat bekerja, sebagai single parent, Sutinah menyadari sayapnya tak lagi dua, sayap itu telah patah. Terkadang Ia membagi waktu mengambil upah mencuci dan menyetrika di rumah tetangga. Ayah Adi hanya sesekali datang menjenguk Adi dan memberi sedikit uang . Karena ayahnya hanya seorang buruh bangunan. 


“Buruan! tolongin Mak, Nak, hari sudah semakin siang, karena hari Minggu, Mak tak sempat masak, nanti beli di Ampera  Uda Feri tu saja ya. Kerjaan cucian dan gosokan udah nunggu juga tuh,” jelas Sutinah. Wanita itu membuka pintu tempat usahanya, lalu meraih sapu lidi dan menyapu tanah halaman yang banyak bertebaran dedaunan.


“Iya, Mak” Adi menyahut sambil mengangkat kertas kardus yang berisi barang. Memang biasanya, setiap hari Minggu maknya belanja untuk mengisi modal barang warungnya. Serta menyusunnya pada rak-rak. 


“Ambil uang di laci belilah sarapan atau udah makan siang namanya ya, udah siang ini soalnya!” Gurau Sutinah sambil terkekeh.


“Makanya jangan begadang terus tiap malam, jangan main hp aja kerjaan, berat mak belik paket kuota internetmu, Nak. Itu kan untuk daring bukan untuk main games saja,” jelas Sutinah memandang lekat ke wajah Adi. Membuat Adi tidak nyaman dengan nasihat Ibunya. Adi berpikir ibunya belum tahu sih bagaimana serunya bermain M*bile leg*nd yang terkadang memang menghanyutkan dan lupa segalanya itu.


 “Dari pada keluyuran nggak jelas mending Adi main hp Mak,” sanggah Adi. “Nggak payah, ke Ampera lagi Mak. Dah lapar pun. Masak mie rebus ma telor aja lah,” jawab Adi mengambil benda tersebut yang tersedia di kedai mereka.


“Masaklah! jangan lupa kompor di matikan siap masak tu!” Sutinah mengingatkan.


“Iya, Mak.” Lirih  remaja kurus tersebut dengan wajah malasnya berlalu menuju ke rumah


“Jangan lupa kompor dimatikan, Di!” kembali wanita berjilbab lebar  itu berteriak lantang ketika Adi melewati pintu masuk rumah, mengingatkan kembali  karena Adi selalu saja masak hampir gosong.


“Iya … ck,”  sahut Adi sambil mengerutu.


Adi mengambil kuali kecil mengisi dengan air, mencetekkan kompor, ketika menunggu air mendidih. Teringat akan ponselnya yang belum sempat Ia sambung colok cas ketika bangun tidur tadi, karena hpnya pasti lowbat akibat malam tadi bermain games lama. Gegas  Ia  beranjak menuju kamar, meraih ponsel serta mencolok casnya. Memeriksa notifikasi yang muncul pada media sosialnya sebentar. Mengklik games  malam tadi yang masih mengantungkan rasa penasaran. Ia terlena berasyik masyuk dengan ponselnya dan lupa akan kompor. Tercium bau hangus benda terbakar. Adi  terkesiap, berlari ke dapur dan Ia dapati asap sudah memenuhi ruangan dapurnya yang sempit. Api mengepul memakan dinding belakang kompor, terus merayap membesar. Adi terdiam sesaat, bingung apa yang harus dilakukan. Panik! Berlari dengan cepat ke kamar mandi mengambil seember air serta gayung, dengan cepat ia menyiram api yang makin menjadi. Terbatuk-batuk dan pandangannya buram karena asap, telinganya menangkap suara kayu yang meretih disusul bunyi ledakan dari tabung gas melon.


“Adi!”  jerit Ibunya datang dengan tergopoh-gopoh. “Panggil bantuan cepat. Biar, Mak siram!” seru Sutinah dengan sigap merebut ember ditangan Adi.


“I-ya, Mak” Adi berlari keluar.


Saat Adi  bersama para tetangga datang, si jago merah telah membesar melahap separuh rumah papannya yang memang mudah terbakar, dan ditambah lagi akibat cuaca tengah panas serta iringan embusan angin. Api dengan cepat berkobar dan menyebar.


“ Mak, Mak, … tolong Mak!”Adi berusaha masuk ke dalam kobaran api yang sudah menguasai lokasi. Bangunan kayu tempat Ia lahir dan bertumbuh itu tidak terlihat utuh lagi, atapnya yang memang sudah berusia tua itu ambruk. Beberapa tangan menangkap Adi menahannya. Tubuh Adi merosot ke bawah, terduduk histeris. Warga sibuk bergotong royong menyiram dengan alat dan air sekedarnya sambil menunggu bantuan mobil pemadam datang.


***


Adi terduduk lesu, matanya bengkak dan sembab, tubuhnya terguncang karena tanggisan yang tak kunjung reda. Berharap ini tak pernah terjadi, Ia harus kehilangan Ibu terkasih karena kelalaiannya. Betapa penyesalan ini begitu besar dan perih menancap di hatinya. Akan menjadi kenangan buruk yang selalu menghantui.  Mungkin inilah makna  mimpi buruk disaat terakhir kebersamaannya dengan Ibunya saat itu. Satu pelukan nyata yang ingin dilakukannya, terasa akan bermakna dibanding seribu pelukan di batu nisan yang hanya bisa dilakukannya saat ini.


Seorang pria paruh baya, memegang pundaknya.


“Ayo, kita pulang,” ajak ayah Adi.


Dengan mengumpulkan  tenaga yang tersisa, Adi berusaha berdiri mengikuti langkah kaki Ayahnya, yang mengajaknya hidup bersama. Ada rasa keraguan serta kecemasan yang beriringan dirasakannya. Adi hanya berharap tiada bencana lain ketika dia akan serumah dengan Ibu serta saudara tirinya kelak.


~

6 komentar:

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...