“Din, katanya Pak Bos mau singgah kemari, siang nanti ya?” Moni menepuk pundakku.
“Iya kali. O, pantesan semalam Bu Sita sibuk ngemasin laporan gitu juga di ruangannya.”
Sembari menjawab pertanyaan Moni aku menumpuk piring serta mangkok menjadi satu. Akan membawa ke dapur selanjutnya mengelap meja bekas pelanggan. Hatiku sering sedih melihat makanan yang selalu tersisa. Sementara diluaran sana masih banyak orang yang kesulitan untuk sesuap nasi.
Saat ini aku mendapat jadwal giliran pagi sampai sore untuk seminggu ke depan. Rumah makan “Selera Kita” tempatku bekerja ini buka dua puluh empat jam. Posisi berada di Jalan Lintas Timur yang ramai dilalui kendaraan lintas provinsi. Ukurannya sangat luas pada bangunan maupun tempat parkir. Pemilik aslinya tinggal di Pekanbaru. Rumah makan ini diurus dan diserahkan pada Bu Sita yang masih kerabatnya.
Jumlah karyawan dua puluh orang. Memiliki tugas masing-masing, ada yang bertugas di bagian memasak, cuci piring serta bersih-bersih. Aku sudah hampir dua tahun bekerja dibagian pramusaji. Selama itu Pak Bos sudah sering berkunjung secara berkala atau sekedar mampir karena lewat. Menurut info hari ini karena sekalian menuju kondangan.
Tampak Bu Sita berjalan cepat keluar dari ruangan meja kasir. Menuju ke parkiran yang terlihat beberapa orang keluar dari mobil pajero putih. Pak Bos telah tiba bersama keluarga. Istrinya terlihat mengenakan kebaya dengan warna seragam dengan yang lainnya. Seorang pemuda dengan jambul berwarna pirang dan seorang gadis yang mungkin sebaya denganku mengenakan kacamata hitam. Mereka berjalan bersama menuju pintu masuk rumah makan. Setelah itu aku tidak lagi memperhatikan. Kami para karyawan masih sibuk melayani para pembeli yang sangat ramai. Dentingan bunyi piring beradu dengan sendok terdengar riuh pada makan siang ini.
Terlihat mereka menuju ruangan yang disekat oleh dinding kaca. Ruangan khusus untuk tamu yang VIP. Semua hidangan sudah kami jamu pada meja panjang tersebut.
“Dina, antar jus manga satu ke sini ya!” Titah Bu Sita yang kepalanya menyembul dari balik pintu ketika aku melewatinya membawa piring kotor.
“Ya, Bu," jawabku.
“Suruh Moni gantikan Ibuk, jaga kasir juga ya.”
“Ya, Buk.” Aku menganggukkan kepala dan berlalu.
Aku mengantar jus tersebut ketika semua orang sedang menikmati makan dengan lahap.
"Antar ke Nak Ronal itu, Din.” Bu Sita memberi intruksi.
Aku berjalan menghampiri meja seorang pria yang sibuk merunduk bermain ponselnya. Sepertinya ia telah selesai makan. Nahasnya kakiku tersandung ujung kursi yang diduduki oleh gadis yang kulewati. Aku tiarap ke lantai. Seakan dunia berhenti seperkian detik dalam pandanganku gerakan gelas jus itu slow emotion tepat mengenai bagian depan tubuh sang pemuda.
“Astafirullah, Dina!” teriak Bu Sita.
“Maaf, maaf …” Aku bangkit dengan cepat berdiri, gugup dan gemetar.
Wajah anak Pak Bos memerah dan memandang tajam. Terlihat kilatan marah pada kedua matanya.
“Ah! Kemana mata lo!” bentaknya padaku. Telunjuknya berulang kali mendorong keningku.
Selanjutnya kedua tangan pemuda itu mengelap cairan kuning pada bajunya dengan tisu. Mama serta adiknya pun ikut berdiri menghampiri.
“Maaf, saya tidak sengaja.”
“Kamu ke kamar mandi saja ganti baju. Alsi ambilkan baju abang, Nak.” Suara ibu Ronal begitu lembut memberi saran.
“Iya, Mah.” Alsi memandang sinis padaku.
Sebelum ia keluar mendekatiku, tanpa aku duga tangan gadis cantik itu dengan cepat menampar pipiku. Panas dan perih terasa.
“Alsi!” teriak ibunya.
“Setelah ini kamu ke ruangan saya, Pak Bos ingin bicara.” Bu Sita berucap setelah kulihat Pak Bos selesai berbisik ke telinganya.
Aku keluar ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Apa setelah kejadian ini aku akan dipecat. Bagaimana ini, aku butuh pekerjaan ini. Aku yang hanya tamatan SMA mana bisa untuk bekerja di tempat yang aku sukai. Padahal aku sangat berambisi melihat gaya para wanita karier dan bergaya. Sayangnya hasratku itu hanya sebatas angan. Hidup sebagai gadis yatim piatu dan hanya diasuh oleh nenek yang sakit-sakitan. Apa mereka tidak kasian padaku, Ronal dan Alsi bersikap sombong sekali. Pandangan mereka padaku seperti merendahkan. Mentang-mentang aku hanya seorang bawahan. Anaknya saja begitu, bagaimana pula dengan orang tuanya. Aku mengigit bibir tidak fokus lagi bekerja. Nyaris meletakkan piring bernoda minyak ke tumpukan gelas kotor. Untungnya si Yudi menegurku.
“Kamu kenapa?” tanya pemuda-- seniorku itu lembut.
Aku menceritakan perihal kejadian tadi kepadanya. Lelaki yang setahun telah menjadi pacarku itu menenangkan. Selalu begitu aku sering merepotkannya. Banyak pekerjaan tertolong. Setiap aku butuh, ia dengan sigap siap sedia. Selain itu ia begitu tulus mencintai, jadwal malam aku mencuri waktu tidur dia yang seharusnya giliran siang menggantikan sementara. Menjadi tukang antar pulang pergi ketika bekerja. Walau kadang tidak sama jadwal. Bahkan di saat ia tidak ada jadwal bekerja rela mengasuh nenek seharian. Aku sangat beruntung memiliki kekasih yang begitu banyak melakukan pengorbanan.
***
Pak Bos duduk di singasana yang biasa diduduki oleh Bu Sita. Menatap lekat ke arahku yang didepannya.
“Jadi kamu anak yatim piatu yang besar dan
tinggal dengan nenekmu?” tanya beliau.
Aku yang menunduk mengigit bibir bawah memberi anggukan pelan. Pastinya ia telah mengorek informasi tentangku dari Bu Sita.
“Ta, keluar sebentar. Ada hal yang ingin abang tanyakan lebih lanjut dengan dia ni,” usirnya pada Bu Sita yang duduk di sebelahku.
“Iya, Bang.” Bu Sita menuju pintu keluar meninggalkan kami berdua.
“ Hm …. Cantik!” Mata lelaki tua itu memindaiku dari atas sampai bawah. Saat ia telah berdiri pada sisi meja dengan tatapan yang entahlah. Aku menjadi takut.
“Kamu pasti lelah bekerja dengan kondisi nenek yang sakit butuh biaya berobat. Kamu harus ada uang untuk itu. Balas jasanya, dengan memberikan kenyamanan dan ketenangan pada nenekmu.”
Benar sekali! kata Pak Bos tapi apa maksud dibalik ucapannya aku belum paham.
“Betul?”
Aku masih diam. Mencoba memberanikan bersitatap pada lelaki yang berambut putih itu. Apa yang diucapkannya memang telak menancap pada apa keinginanku selama ini.
“Jawab!” Suaranya naik beberapa oktaf.
“I-ya, Pak.” Gugup aku menjawab.
“Kita nikah siri, segala keinginan akan tercapai dengan bergelimang harta. Kamu mau rumah, mobil? Terima tawaran saya” Lelaki itu menyeringai serta berbicara lebih mencondongkan tubuhnya ke arahku. Wajah kami hanya berjarak batas beberapa centi saja.
Aku membeku!
~
Tolong pemirsa! Love or money atau sekalian aja balas dendam aku pada kedua anaknya Pak Bos saja. Perlakuan mereka tadi sombong sekali, biar kupelorotin harta papanya ini?
Duh jangan laah kalo balas dendam dan morotin orang itu ga baik, hehe
BalasHapusTapi ya plihan ada ditangan Dini. Eh tokohnya tadi Dina apa dini ya ? Hehe
Siap, masih pada tahap mengkaji ulang, hehehe, makasi ya udah mampir
HapusPilih yg bikin dini bahagia
BalasHapusMasih dilema, hehehe
HapusBiarkan Dina sholat istikharah dulu
BalasHapusHal buruk apa meski Salat jugakah? hehehehe
HapusCinta dan uang ,yang di dahulukan cinta ,kalau sudah sama 2 cinta maka cari uang yang banyak
BalasHapusyes, boleh usulnya, hehehe
HapusTentang cinta dan uang cakep mbk
BalasHapusmasalah yang sering terjadi dalam hidup kita
HapusKeren
BalasHapusMakasi
Hapus