Awan kelam menggelayut manja di langit sore ini. Beberapa kali terdengar suara geleduk membuat terkejut. Cuaca begitu sendu seperti mendekati senja. Padahal jarum pendek jam dinding baru menunjukan angka lima. Jalan raya di depan rumahku terlihat lengang. Angin berembus menerbangkan dedaunan kering di atas jalan. Aku menuju teras untuk duduk sebentar. Menunggu suamiku yang belum juga pulang kerja.
Biasanya, pukul empat sore dia sudah berada di rumah. Namun, sudah hampir seminggu ini lelaki yang telah enam tahun menjadi suamiku itu sering pulang terlambat.
"Kerjaan banyak, atasan menyuruh lembur." Begitu jawabannya ketika pernah kutanyai mengapa Bang Rizal sering terlambat pulang. Selain itu akhir-akhir ini ia terlihat gelisah dan tak nafsu makan. Pernah aku memergokinya sedang mengusap-usap wajahnya dengan kasar serta menghela napas berat sebelum tidur.
Sebagai istri, aku pun memberi perhatian.
“Abang, kuperhatikan seperti ada masalah ya? Ceritalah ke adek Bang, mana tahu bisa membantu.”ucapku lembut memegang pundaknya.
“Ah, tidurlah. Mataku belum ngantuk!” Ia beranjak pergi.
Pandanganku tak lepas dari pintu pagar rumah kami. Bukannya kehadirannya yang terlihat. Gumpalan awan hitam telah mencurahkan air dengan derasnya. Beberapa detik kemudian aku memutuskan masuk ke rumah. Aku mengelilingi rumah menutup semua jendela dan gorden. Serta menekan saklar semua bola lampu.
Sepi. Bukan hanya sekali ini aku mengalami. Kesunyian hidup ini telah begitu setia menemani. Pernikahan tanpa dikarunia buah hati. Aku sendirian, kala suami bekerja, biasanya aku menghabiskan waktu dengan melakukan pekerjaan rumah. Jika selesai berberes rumah aku bermain ke rumah tetangga. Hampir setiap hari aku ke rumah Mita, seorang janda yang memiliki anak satu yang masih berumur sembilan bulan bernama Angga.
Angga begitu dekat denganku. Jika ibunya pergi maka ia dititipkan padaku. Aku sangat senang mendapat kesibukan mengurus bocah itu. Sayangnya itu tak lama, Mita mendadak pergi. Herannya tanpa berpamitan dan pesan. Aku merindukan Angga, tempat curahan kasih sayang.
Hujan semakin deras, diiringi dengan kilatan petir menyambar. Gegas aku masuk ke kamar menghempaskan tubuh di kasur serta memasang selimut. Tiba-tiba listrik padam mendadak. Gelap gulita, aku meraih ponsel di nakas serta menghidupkan senternya.
Hujan kali ini terasa berbeda. Embusan angin begitu menusuk tulang. Aku mencoba memejamkan mata.
Doarr!
Tiba-tiba terdengar suara dentuman yang membuatku sontak duduk. Bunyi apa itu? Walau suara hujan pun ada, tapi suara itu tetap terdengar. Seperti ban mobil truk yang pecah. Namun, itu bukan dari jalan aspal depan rumah. Suara itu amat dekat. Aku menjadi merasa ketakutan. Jantungku terpacu lebih cepat. Tubuhku gemetaran dengan keringat yang mulai keluar. Aku menajamkan pendengaran dan memicingkan mata memandang lekat pada jendela kamar. Arah suara keras tadi berasal.
Aku mengumpulkan keberanian, dengan membawa ponsel mendekati jendela. Langkah perlahan kulakukan. Mendadak jendela itu terbuka lebar. Deru angin kencang bercampur tempias memasuki kamar. Aku terpaku, di hadapanku berdiri Mita dan Angga dalam keadaan kuyup. Wajah mereka berdua terlihat pucat. Pandangan Mita menyiratkan kesedihan yang mendalam. Sepertinya bibirnya ingin berucap.
“Mi … ta, Ang … ga,” lirih serta gagap aku berucap karena terkejut.
“Tolong kami! Tolong kami!” Mita berucap lirih seiring deru air hujan.
“Gali belakang rumah!” Mita berseru, lalu berubah menjadi bayangan yang semakin memudar lalu menghilang.
Sepersekian detik rasanya napasku terhenti. Kejadian ini begitu aneh. Apa yang di maksud dengan perkataan sosok menyerupai Mita dan Angga tadi. Apa aku barusan melihat hantu. Aku memperhatikan ke luar jendela, hanya terlihat bayang gelap pekatnya malam yang telah menjelang. Wajahku terkena terpaan air hujan yang terbawa angin. Segera aku tersadar dan menutup daun jendela dengan cepat.
***
Aku mengerjapkan mata ketika terbangun. Mendapati ruangan telah terang, hujan pun telah berhenti. Aku meraih ponsel, mematikan senter dan melihat jam digital di sudut layar. Telah menunjukan jam enam pagi. Itu artinya malam telah berlalu. Aku terlelap tanpa sadar setelah beberapa jam tak dapat memejamkan mata memikirkan kejadian malam tadi.
Bang Rizal tidak pulang? Atau aku yang tak menyadari kedatangan. Aku bangkit ingin mengetahui hal itu. Baru beberapa langkah kaki menuju pintu kamar. Ponselku berdering. Aku berbalik dan mengeser layar sebuah nomor tanpa nama.
“Ya, halo,” jawabku ragu.
“Apa! Kecelakaan. Saya segera ke sana.” Tubuhku lemas mendengar berita yang disampaikan oleh suara dari seberang panggilan.
Aku terkulai tak berdaya karena mendengar Bang Rizal yang telah dilarikan ke rumah sakit. Rasa tak percaya aku mendadak menjadi janda. Polisi ingin memastikan apakah mayat yang sudah tak berbentuk itu adalah Bang Rizal.
Menurut keterangan dari pihak kepolisian. Kematian Bang Rizal sangat misterius. Mereka akan mencoba mendalami kasus. Tubuhnya di penuhi luka yang tak wajar. Banyak terdapat luka bekas cakaran kuku yang tajam. Serta leher yang hampir putus. Hal itu tidak cocok dengan kasus kecelakaan tunggal yang menimpanya karena jalanan yang licin.
Berbagai keterangan dan sejumlah fakta terkuak. Ternyata Bang Rizal telah berhenti bekerja lima hari yang lalu. Para kenalan serta kerabat sering melihat ia seperti orang yang frustasi dan stress berat. Pernah salah seorang memergoki ia sedang menangis sendiri serta mengucapkan teriakan kalimat “Mita, Angga maafkan aku.”
Berdasarkan keterangan tersebut akhirnya polisi menyisiri kasus keterkaitannya dengan Mita dan juga Angga yang hilang. Aku pun memberikan kesaksian tentang kejadian di saat hujan senja itu.
Mengejutkan, dua mayat terkubur di belakang rumah. Mita yang sedang memeluk Angga. Kasus di tutup dengan keterangan Bang Rizal telah mencoba menodai Mita, tetapi gagal dan tanpa sengaja membuat ibu dan anak itu tewas. Aku janda kembang dari seorang pembunuh!
Cerpennya keren sekali.
BalasHapusAlhamdulillah, makasi ya
HapusKeren...
BalasHapusSerem bu
BalasHapusbelum lagi itu lo, hehehe
BalasHapus