Dampak
pandemi, usaha dagang milik Arya sepi,
tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bangkrut. Akhirnya dengan
berbagai pertimbangan Arya beserta istrinya Marni kembali ke Desa. Di Desa,
sementara waktu mereka menumpang di rumah orang tua Arya. Menjelang Arya
mendapat pekerjaan.Keadaan desa sudah banyak berubah, karena hampir
sepuluh tahun di perantauan. Nasib baik menghampiri, Arya memperoleh pekerjaan
menjadi supir untuk antar jemput hasil panen milik juragan kaya Pak Soleh.
Hampir
dua bulan mereka hidup di rumah orang tua, akhirnya mereka akan mengontrak di
rumah yang berada di ujung gang. Rumah tersebut sudah lama kosong, tak diurus.
Sang pemiliknya berada di kota, bernegosiasi dengan pihak keluarga pemilik yang
berada di Desa tersebut. Arya mendapat harga murah.
Kondisi
rumah tersebut lumayan luas dengan jumlah dua kamar, besar dan satunya lagi berukuran kecil. Halamannya ditumbuhi sebatang pohon mangga yang besar serta
terlihat tua. Serta rumput liar yang mengelilingi rumah.
Marni
dibantu ibu mertuanya bertugas membersihkan bagian dalam rumah, sedangkan Arya
membabat rumput liar. Tidak memakan waktu lama karena barang mereka tidak
banyak, dalam waktu singkat pindahan pun selesai.
"Marni,
jadi pindah ke rumah ujung gang itu ya? " tanya Bulek Ida. Bulek Ida masih
kerabat dari pihak keluarga mertuanya.
"Jadi
Bulek, kemarin kami sudah pindahannya," jawab Marni menghentikan aktivitas
memilih-milih sayur.
"Eh,
hati - hati lo Mar, katanya rumah itu angker, Bulek sih cuma dengar desas-desus saja, sering orang liat ada
bayangan hitam melintas di situ," ujar Bulek sambil bahunya dinaikkan
bergidik.
"Ah,
masa sih Bulek, nggak lah, Bulek. Nakutin aja nih.” Marni menjawab tersenyum
pada Bulek Ida lalu menyerahkan uang kepada pemilik warung.
"Ini
kembaliannya, rumah yang di ujung gang itu ya, Nak?” tanya pak tua pemilik
warung.
"Iya,
pak" jawab Marni singkat.
"
Hati-hati aja, jangan lupa pada Allah SWT itu kuncinya, Nak" jelas si
pemilik warung.
"Iya,
Nduk, mudahan itu hanya gosip saja," tandas Bulek. Mungkin merasa tak enak
hati dikira menakuti Marni.
Perjalanan
menuju rumah, Marni berjalan dengan langkah gontai. Marni jadi kepikiran
pembahasan di warung barusan. Masuk akal juga jika hal seperti itu tersebar
karena dengan kondisi rumah yang lama kosong, di sampingnya masih kebun karet
warga. Serta sisi lainnya lagi tanah kosong yang ditumbuhi semak belukar. Untuk
mencapai rumah tetangga terdekat sekitar 100 meteran dari rumah tersebut.
Arya
dan Marni pasangan pasutri yang belum dikarunia keturunan. Arya bekerja, terkadang pulangnya agak kemalaman. Marni yang kesepian di siang
hari mencari kesibukan bekerja membantu
untuk menambah pundi tabungan mereka agar bisa untuk membeli tanah dan
membangun rumah yang merupakan cita-cita mereka. Marni menjadi pembantu rumah
tangga di rumah Pak RT dan pulang ke rumah hingga sore hari. Jadi hampir setiap
hari rumah jika siang, kosong.
Langit
senja menggelayut, Marni telat sampai ke rumah. Hari ini setrikaan menumpuk.
Efek beberapa hari yang lalu hujan menguyur, sehingga kain keringnya bersamaan.
Malam
pun menjelang, karena kelelahan Marni memutuskan tidur lebih awal. Arya belum
juga pulang. Bunyi pintu depan terbuka terdengar samar oleh telinga Marni,
membuatnya agak membuka matanya sedikit. Lalu ia melihat Arya masuk ke kamar.
Arya memang membawa kunci serep rumah.
"Udah
pulang Mas, makan malam di tudung ya. Aku ngantuk kali," ujar Marni lirih
sambil matanya setengah terpejam.
"Hm,"
Arya hanya bergumam. Diiringi tatapan matanya yang dingin.
Sekilas
Marni lihat suaminya ikut berbaring di sebelahnya untuk mengambil posisi tidur.
Mungkin kelelahan melanda dan ingin juga langsung beristirahat pikir Marni.
Bunyi
ponsel Marni berbunyi, panggilan masuk. Sambil meraba atas meja kecil di samping ranjang Marni meraih
dan langsung meletakkannya ditelingga. Tanpa melihat nama siapa yang muncul di
layar ponselnya.
“Halo,
ya. Siapa?” serak suara Marni menyapa.
“Ini,
Mas. Mas pulang larut ini, Dek. Karena ban mobil terpuruk. Ini lagi diusahakan
tuk keluar,” jelas Arya di ujung sambungan celulernya.
“Hah!
I-ya, Mas.” Tersentak Marni mendudukkan tubuhnya.
Marni
mengucek kedua matanya, menoleh memandang ke sisi tidurnya. Kosong. Keningnya
berkerut, kembali mengingat. Tadi Ia merasa tidak bermimpi. Kehadiran Arya
pulang dan berbaring di sebelahnya.
Seketika
hawa udara berubah, lebih dingin menusuk tulang. Marni terkejut, karena heran
dari mana embusan angin berasal. Bulu kuduknya meremang, keringatnya pun
keluar. Ketakutan mulai menyergapnya. Lampu tiba-tiba padam, gelap gulita.
Marni gemetaran berusaha menghidupkan
senter ponselnya. Terdengar jelas derit pintu, Marni mengarahkan cahaya
ponselnya ke pintu. Gorden jendela melambai-lambai seperti ditiup angin yang
besar.
Tap!
Tap! Tap!
Terdengar
suara langkah berat, semakin mendekat. Marni meraih selimutnya, menutupi
seluruh tubuhnya. Matanya terpejam, berusaha merapalkan berbagai macam doa yang
Ia hapal.
***
"Dek,
bangun, Dek. salat Subuh." Arya mengoyang-goyang tubuh wanita yang selama
lima tahun telah menjadi istrinya itu.
"Hm
... ya, Mas," jawab Marni.
Marni
berlahan membuka matanya, serta mengumpulkan kesadarannya. Mengingat kembali kejadian semalam yang menimpanya. Lalu
ia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Ia pun memijit-mijit pelipisnya.
"Kenapa?
sakit kepala, Mas ke musala, ya" pamit Arya.
"Ikut
Mas!" cepat Marni bangkit menuju kamar mandi untuk bersiap-siap.
"Tumben,
ayok la, cepat. Keburu azan ntar" desak Arya sambil setengah berteriak,
karena Marni sudah hilang dibalik pintu toilet.
Diperjalanan
menuju mushola.
"Mas,
jam berapa sampai rumahnya malam tadi," tanya Marni.
"Sekitar
jam satuan lewat la, kalau nggak salah. Kamu tidur kok gelap-gelapkan, itu
listrik MCB nya ngebanting rupanya," jawab Arya.
Marni
mengingat akan lampu yang padam malam tadi, itu artinya ia tak bermimpi,
rupanya MCB yang membalik, hal aneh lainnya malam tadi benar menimpanya.
Marni
pun menceritakan kejadian yang dialaminya kepada Arya. Arya menanggapi dengan
senyuman.
"Jangan-jangan
kamu mimpi kali tu, trus ini mau ikut ke musala karena takut ya, ditinggal
sendirian di rumah," pungkas Arya.
Sepulang
dari salat subuh. Mereka berjalan kaki bersama dengan pak imam masjid yang
telah sepuh yaitu Pak Tua pemilik warung di Desa tersebut. Sambil ngobrol
ringan dan berbasa - basi.
"Bagaimana,
di rumah itu, Nak. Adakah kalian
mengalami gangguan?” tanya Pak Tua tersebut kepada mereka.
Marni
dan Arya saling bertatapan. Terlebih Marni mengeryitkan alisnya.
Marni
dengan cepat, segera menceritakan hal yang ia alami yang serasa bermimpi atau
nyata.
"Nak
Marni, semalam pasti ketiduran dan belum melaksanakan salat Isya kan?"
tandas Pak Tua.
"Iya
Pak, karena saya kelelahan bekerja seharian," lirih ucap Marni sambil tertunduk.
"Ketahuilah
nak, di pohon mangga besar di depan rumah tersebut bersemayam jin, jin muslim
yang sudah sangat tua. Ia sangat betah berdiam di situ, pernah bapak tanya
kenapa? ia bilang nyaman di situ, ia pun berjanji tidak akan menggangu orang
lain jika orang tersebut menjalankan perintah agama" terang Pak Tua.
Marni
yang mendengar yang diutarakan Pak Tua, terkejut serta cepat menutup mulutnya.
Sementara Arya hanya diam dengan ekspresi wajah yang sama dengan Marni,
terkejut.
"Ia
jin muslim yang baik, pernah dulu ada penyewa yang sangat jauh dari ajaran
agama. Ia ganggu dengan suara-suara aneh. Penampakan bayangan hitam besar, itu
cukup membuat penyewa angkat kaki dari rumah di ujung gang tersebut. Ya itu,
lalu beredarlah berita dari mulut ke mulut bahwa rumah itu angker," terang
Pak Tua lagi.
Marni
masih dengan wajah yang serius mendengarkan, sedangkan Arya berucap istighfar
pelan.
"Jadi
kami harus bagaimana Pak Ustad? apa kami harus pindah dari situ?" tanya
Marni.
"Sebenarnya
kita hidup berdampingan nak, makhluk gaib juga ciptaan Allah. Tidak di situ, di
tempat lain pun dia ada. Baik jin kafir maupun jin muslim. Kita percaya akan
hal itukan. Yang terpenting kita tidak saling mengganggu dan taat pada
menjalankan perintah agama serta bertawakal pada Allah SWT yang menguasai alam
serta makhluknya. Tetap saja kalian di rumah itu, tidak apa-apa," jelas
Pak tua panjang lebar.
Atas
penjelasan dan pengertian yang disampaikan Pak Tua tersebut, akhirnya Arya dan
Marni tetap menjalani kehidupan mereka di kontrakan rumah di ujung gang
tersebut.
~
Wah...horor lagi nih...iiih...takut...lari ah
BalasHapusSerem aaah
BalasHapusNgeri2 sedan Bu Mega
BalasHapus