"Mbak E, maaf ya.
Gajian bulan ini agak telat ya, karena kami juga belum gajian soalnya."
Kalimat yang diucapkan
oleh majikan itu kembali tergiang. Teringat pagi tadi hal itu disampaikannya
ketika kubaru saja datang dan Ia sudah bersiap akan pergi bekerja.
Selama tiga tahun
bekerja pada suami istri yang pegawai pemerintah itu, sebagai pengasuh anak
mereka yang sejak bayi hingga sekarang telah berusia beranjak dua tahun. Tak pernah
gajiku cair terlambat. Seharusnya hari ini adalah tanggal gajian jatuh tempo.
Uang hasil jerih payah
tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai orang tua
tunggal. Hidupku jadi terpuruk sejak pendamping meninggalkan kami berdua tanpa
pesan dan kesan. Status yang tak jelas antara dicerai atau digantung.
Membesarkan buah hati kami yang kini menginjak usia delapan tahun seorang diri
banyak hambatan yang kuhadapi. Untuk mencari pasangan hidup lagi, takkan
terlintas lagi dibenak. Kapok, entah trauma bersarang. Kuhanya fokus pada
masalah ekonomi yang selalu menghimpit. Gaji yang tak cukup. Uang gaji sebesar
enam ratus ribu itu harus bisa kukelola dengan pengeluaran bulanan dan biaya
hidup. Menyisihkan untuk uang sewa rumah saja yang berkisar empat ratus ribu,
sisanyalah yang diputar-putar untuk berbelanja dan jajan si Paijo anakku. Kekurangan uang yang kuhadapi
tak lepas membuat utang di sana-sini, membuat kepala terasa berat.
Seharusnya hari ini
gajian, hal yang menggembirakan, hatiku agak lega. Harapan akan bisa untuk memenuhi kebutuhan.
Namun, akhirnya pupus.
Mata ini tak bisa
berkompromi, meski larut. Ngantuk itu belum juga menghampiri. Pikiran masih
melayang kemana-mana. Menatap nanar Paijo yang telah pulas bermain dengan dunia
mimpi. Wajahnya polos, napas yang teratur mengiringi dadanya yang naik turun.
Paijo, belum mengerti.
Terkadang ia ingin jajan saja sering kularang. Akhirnya menyisakan tangisan.
Membuat hatiku nelangsa.
Terpikir kedepan,
bagaimana nasib anakku esok hari. Uang ditangan tak ada. Pinjaman, apakah ada
lagi yang mau bermurah hati mengutangi.
Kuhela napas dengan
berat, apakah harus mencari kerja tambahan. Tapi apa? Membagi waktu yang ada.
Apa bisa? Hanya tamatan Sekolah Dasar tidak ada yang bisa diandalkan kecuali
tenaga. Itupun terkadang fisikku lemah jika dihadapkan dengan pekerjaan yang
banyak. Bagaimana besok hari kan kami hadapi. Sepersen pun tiada ditangan.
Hari Minggu yang cerah,
tetapi tak secerah hatiku. Berdiri mematung di depan pintu. Terbangun dengan
mata yang berat. Karena tak terlena melewati malam. Kepala terasa sempoyongan.
Paijo telah bangun dan bermain dengan anak tetangga. Minggu adalah waktu
liburku bekerja juga, mungkin akan mencari pekerjaan yang bisa menambah
penghasilan. Rencanaku mungkin akan ke pasar mencari kerja.
Tiba-tiba lamunanku
dikejutkan dengan suara Paijo yang datang menghampiri sambil berlari kecil.
"Mak, lapar. Beli
sarapan, Mak," ucapnya sembari menarik ujung baju dasterku.
"Minum air teh
dulu ya," jawabku sambil menuju ke dapur.
"Tak mau, aku
lapar. Bukan haus Mak," ujar Paijo mengekor di belakangku.
Tanganku yang sudah
meraih wadah gula pasir, terhenti. Bagaimana memberikan penjelasan pada Paijo.
Tak sanggup melihat raut kecewa Paijo nantinya. Jika aku yang kelaparan masih
bisa kutahan.Tapi jika anakku yang mengalami, hatiku perih. Mata berkaca-kaca.
Seakan-akan air hangat berlomba untuk jatuh berderai. Mendongakkan kepala,
serta berusaha tak terlihat sedang meratapi nasib di depan Paijoku.
"Paijo, sarapan
mie mau?" tanyaku dengan suara agak parau. Karena menahan rasa sedih dan
airmata yang masih saja mau mendesak keluar.
Paijo hanya
menganggukkan kepala bertanda setuju. Serta menatap raut kesedihan diwajahku
yang terbaca olehnya. Tak ayal membuat mukanya pun suram.
"Bentar ya, Mak ke
kedai depan ya. Tunggu sini aja," cetusku sambil berlalu.
Dengan langkah berat,
dan hati ragu menuju kedai di seberang. Rumah pemilik kontrakan Bu Tatik yang
menjual barang harian tersebutlah tempatku biasa berutang.
"Bu Tatik .... O,
Buk" panggilku agak dengan suara keras. Karena Ia tak terlihat di
kedainya.
"Oi, kejap. Lagi
jemur kain," sahutnya samar dari arah samping rumahnya.
"Ya!" jeritku
singkat.
"Beli apa?"
tanyanya yang datang agak tergopoh-gopoh.
"Hm ..., boleh
ngutang mie sebungkus sama telor satu ya?" Gugup aku bertanya sambil
tersenyum meringis.
Wajah Bu Tatik dengan
bedak tebal tersebut mendadak berubah dingin.
"Pagi lagi ni. Belum
ada pecah telor, eh Mbak E udah mau ngutang! Pamali Mbak e. Belum bon lama dah
banyak ini." pungkasnya dengan bibir mengerucut sambil memperlihatkan buku
catatan atas namaku. Terlihat dengan
angka besar tertulis seratus lima belas ribu disitu.
"Ya la, Buk. Ndak
jadila kalau gitu." ucapku lirih sambil membalikkan badan menuju rumah.
Dengan langkah gontai
menuju rumah, belum sampai ke rumah. Kuputuskan singgah ke halaman samping
rumah memetik beberapa helai pucuk ubi. Rencananya akan ditumis saja. Untuk
sarapan kami berdua. Mungkin Paijo sedikit dibujuk agar mau makan pucuk ubi
tumis. Sambil melalui rumah deretan rumah petak. Terlihat rumah tetangga yang
terbuka.
"Ra!"
teriakku.
"Opo, Mbak E?"
"Boleh pinjam
beras seliter Ra," ujarku ragu-ragu.
"Oh, boleh Mbak E.
Bentar ya." Ia berlalu masuk ke dalam rumah.
Ira kembali dengan tersenyum, menyerahkan beras
yang kusambut dengan hati bahagia.
"Makasih ya, Ra,
kalo gajian, Mbak E bayarnya ya, Ra," ucapku lirih. Secarik senyum tipis
kuterbitkan.
"Ya, bawalah
dulu," jawabnya sembari tersenyum tulus. Beruntung rasanya memiliki
tetangga baik.
Akhirnya sarapan kami
berdua nasi panas dengan tumisan pucuk ubi. Paijo yang semula tak berselera
namun karena lapar, akhirnya luluh dengan suapan yang kuberikan.
Mengunyah dengan
pikiran melayang, nanti jika nasi ini habis apa yang akan dimakan lagi? Apa
harus bergelimang utang lagi? Ataukah hari ini, memulung saja? Apa fisikku
tahan berjalan ke sana ke mari mengutip sampah plastik atau barang daur ulang.
Takutnya malah jatuh sakit mengingat tubuhku yang sangat mudah tumbang. Sembari
berdoa di dalam hati semoga majikanku cepat keluar gajinya agar berimbas padaku yang akan gajian juga.
"Tet! Tet! Tet!"
Bunyi token PLN
membuyarkan lamunan, menjerit minta pulsanya diisi. Kembali kepalaku berdenyut.
Perjuangan ibu demi perut anak nya kenyang luar biasa ya bu mega..
BalasHapusIya, Say. Makasi ya udah mampir
HapusSemoga cerpen menjadi satu untuk buku solo nya ya Bu
BalasHapusSip, Say, dan sudah ada, hehehe
HapusIbu Megawati walaupun bukan anak seorang presiden tapi tulisannya udah seperti anak presiden luar biasa dan sangat bermakna
BalasHapusAnak presiden, hehehe. Makasih ya
BalasHapus