Minggu, 26 Juni 2022

Gajian yang Tertunda- cerpen slide of life-setor H-17

 

"Mbak E, maaf ya. Gajian bulan ini agak telat ya, karena kami juga belum gajian soalnya."

 

Kalimat yang diucapkan oleh majikan itu kembali tergiang. Teringat pagi tadi hal itu disampaikannya ketika kubaru saja datang dan Ia sudah bersiap akan pergi bekerja.

 

Selama tiga tahun bekerja pada suami istri yang pegawai pemerintah itu, sebagai pengasuh anak mereka yang sejak bayi hingga sekarang telah berusia beranjak dua tahun. Tak pernah gajiku cair terlambat. Seharusnya hari ini adalah tanggal gajian jatuh tempo.

 

Uang hasil jerih payah tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai orang tua tunggal. Hidupku jadi terpuruk sejak pendamping meninggalkan kami berdua tanpa pesan dan kesan. Status yang tak jelas antara dicerai atau digantung. Membesarkan buah hati kami yang kini menginjak usia delapan tahun seorang diri banyak hambatan yang kuhadapi. Untuk mencari pasangan hidup lagi, takkan terlintas lagi dibenak. Kapok, entah trauma bersarang. Kuhanya fokus pada masalah ekonomi yang selalu menghimpit. Gaji yang tak cukup. Uang gaji sebesar enam ratus ribu itu harus bisa kukelola dengan pengeluaran bulanan dan biaya hidup. Menyisihkan untuk uang sewa rumah saja yang berkisar empat ratus ribu, sisanyalah yang diputar-putar untuk berbelanja dan jajan si  Paijo anakku. Kekurangan uang yang kuhadapi tak lepas membuat utang di sana-sini, membuat kepala terasa berat.

 

Seharusnya hari ini gajian, hal yang menggembirakan, hatiku agak lega.  Harapan akan bisa untuk memenuhi kebutuhan. Namun, akhirnya pupus.

 

Mata ini tak bisa berkompromi, meski larut. Ngantuk itu belum juga menghampiri. Pikiran masih melayang kemana-mana. Menatap nanar Paijo yang telah pulas bermain dengan dunia mimpi. Wajahnya polos, napas yang teratur mengiringi dadanya yang naik turun.


Paijo, belum mengerti. Terkadang ia ingin jajan saja sering kularang. Akhirnya menyisakan tangisan. Membuat hatiku nelangsa.


Terpikir kedepan, bagaimana nasib anakku esok hari. Uang ditangan tak ada. Pinjaman, apakah ada lagi yang mau bermurah hati mengutangi.

 

Kuhela napas dengan berat, apakah harus mencari kerja tambahan. Tapi apa? Membagi waktu yang ada. Apa bisa? Hanya tamatan Sekolah Dasar tidak ada yang bisa diandalkan kecuali tenaga. Itupun terkadang fisikku lemah jika dihadapkan dengan pekerjaan yang banyak. Bagaimana besok hari kan kami hadapi. Sepersen pun tiada ditangan.

 

Hari Minggu yang cerah, tetapi tak secerah hatiku. Berdiri mematung di depan pintu. Terbangun dengan mata yang berat. Karena tak terlena melewati malam. Kepala terasa sempoyongan. Paijo telah bangun dan bermain dengan anak tetangga. Minggu adalah waktu liburku bekerja juga, mungkin akan mencari pekerjaan yang bisa menambah penghasilan. Rencanaku mungkin akan ke pasar mencari kerja.

 

Tiba-tiba lamunanku dikejutkan dengan suara Paijo yang datang menghampiri sambil berlari kecil.

 

"Mak, lapar. Beli sarapan, Mak," ucapnya sembari menarik ujung baju dasterku.

 

"Minum air teh dulu ya," jawabku sambil menuju ke dapur.

 

"Tak mau, aku lapar. Bukan haus Mak," ujar Paijo mengekor di belakangku.

 

Tanganku yang sudah meraih wadah gula pasir, terhenti. Bagaimana memberikan penjelasan pada Paijo. Tak sanggup melihat raut kecewa Paijo nantinya. Jika aku yang kelaparan masih bisa kutahan.Tapi jika anakku yang mengalami, hatiku perih. Mata berkaca-kaca. Seakan-akan air hangat berlomba untuk jatuh berderai. Mendongakkan kepala, serta berusaha tak terlihat sedang meratapi nasib di depan Paijoku.

 

"Paijo, sarapan mie mau?" tanyaku dengan suara agak parau. Karena menahan rasa sedih dan airmata yang masih saja mau mendesak keluar.

 

Paijo hanya menganggukkan kepala bertanda setuju. Serta menatap raut kesedihan diwajahku yang terbaca olehnya. Tak ayal membuat mukanya pun suram.

 

"Bentar ya, Mak ke kedai depan ya. Tunggu sini aja," cetusku sambil berlalu.

 

Dengan langkah berat, dan hati ragu menuju kedai di seberang. Rumah pemilik kontrakan Bu Tatik yang menjual barang harian tersebutlah tempatku biasa berutang.

 

"Bu Tatik .... O, Buk" panggilku agak dengan suara keras. Karena Ia tak terlihat di kedainya.

 

"Oi, kejap. Lagi jemur kain," sahutnya samar dari arah samping rumahnya.

 

"Ya!" jeritku singkat.

 

"Beli apa?" tanyanya yang datang agak tergopoh-gopoh.

 

"Hm ..., boleh ngutang mie sebungkus sama telor satu ya?" Gugup aku bertanya sambil tersenyum meringis.

 

Wajah Bu Tatik dengan bedak tebal tersebut mendadak berubah dingin.

 

"Pagi lagi ni. Belum ada pecah telor, eh Mbak E udah mau ngutang! Pamali Mbak e. Belum bon lama dah banyak ini." pungkasnya dengan bibir mengerucut sambil memperlihatkan buku catatan  atas namaku. Terlihat dengan angka besar tertulis seratus lima belas ribu disitu.

 

"Ya la, Buk. Ndak jadila kalau gitu." ucapku lirih sambil membalikkan badan menuju rumah.

 

Dengan langkah gontai menuju rumah, belum sampai ke rumah. Kuputuskan singgah ke halaman samping rumah memetik beberapa helai pucuk ubi. Rencananya akan ditumis saja. Untuk sarapan kami berdua. Mungkin Paijo sedikit dibujuk agar mau makan pucuk ubi tumis. Sambil melalui rumah deretan rumah petak. Terlihat rumah tetangga yang terbuka.

 

"Ra!" teriakku.

 

"Opo, Mbak E?"

 

"Boleh pinjam beras seliter Ra," ujarku ragu-ragu.

 

"Oh, boleh Mbak E. Bentar ya." Ia berlalu masuk ke dalam rumah.

 

Ira  kembali dengan tersenyum, menyerahkan beras yang kusambut dengan hati bahagia.


 


"Makasih ya, Ra, kalo gajian, Mbak E bayarnya ya, Ra," ucapku lirih. Secarik senyum tipis kuterbitkan.

 

"Ya, bawalah dulu," jawabnya sembari tersenyum tulus. Beruntung rasanya memiliki tetangga baik.

 

Akhirnya sarapan kami berdua nasi panas dengan tumisan pucuk ubi. Paijo yang semula tak berselera namun karena lapar, akhirnya luluh dengan suapan yang kuberikan.

 

Mengunyah dengan pikiran melayang, nanti jika nasi ini habis apa yang akan dimakan lagi? Apa harus bergelimang utang lagi? Ataukah hari ini, memulung saja? Apa fisikku tahan berjalan ke sana ke mari mengutip sampah plastik atau barang daur ulang. Takutnya malah jatuh sakit mengingat tubuhku yang sangat mudah tumbang. Sembari berdoa di dalam hati semoga majikanku cepat keluar gajinya  agar berimbas padaku yang akan gajian juga.

 

"Tet! Tet! Tet!"

 

Bunyi token PLN membuyarkan lamunan, menjerit minta pulsanya diisi. Kembali kepalaku berdenyut.

6 komentar:

  1. Perjuangan ibu demi perut anak nya kenyang luar biasa ya bu mega..

    BalasHapus
  2. Semoga cerpen menjadi satu untuk buku solo nya ya Bu

    BalasHapus
  3. Ibu Megawati walaupun bukan anak seorang presiden tapi tulisannya udah seperti anak presiden luar biasa dan sangat bermakna

    BalasHapus
  4. Anak presiden, hehehe. Makasih ya

    BalasHapus

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...