"Kenapa,
Nek? Sakit?” tanya Neng Alya sambil menatapku
yang sedang mengurut betis.
"Tidak, Cung, biasa sudah sepuh. Kamu sudah makan? Itu makanan di tudung sudah
siap!" jawabku sambil menunjuk ke meja makan.
"Iya,
Nek. Mama mana, Nek?!” seru Neng Alya sambil menyendok nasi ke piring.
"Loh,
tadi Ibu di kamar. Sepertinya dandan mau siap-siap pergi, atau sudah pergi, ya?
Nggak ada pamit," ujarku sambil menatap Neng Alya yang mengunyah seraya
menganggukkan kepala.
Bu
Desma—mamanya Neng Alya adalah wanita yang hampir berusia menuju kepala empat,
tetapi beberapa tahun terakhir ini kelakuannya seperti remaja putri yang sedang
puber. Kerjanya tiada lain asyik dengan ponselnya, yang kusebut dengan benda
pipih, karena bentuknya tipis. Waktunya banyak dihabiskan dengan benda tersebut
dan bepergian ke luar bersama teman-temannya.
Pernah
kupergoki Bu Desma lama di depan cermin, kukira menghitung kerutan di wajahnya,
serta merenung untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ternyata pemikiranku salah.
Ia berdandan dengan lama lalu meletakkan benda pipih tersebut di depan
wajahnya. Ia pun tersenyum, lalu memajukan bibirnya dengan melakukan banyak gaya.
Cekrek!
Cekrek!
Cekrek!
Begitulah bunyinya. Gaya berpakaiannya pun modis dan wow.
Ya, tidak apa juga, sih, namanya wong sugih, ya, ‘kan?
Dulu Bu Desma
adalah seorang ibu serta istri yang rajin mengurus rumah tangga, serta penuh
kasih perhatian pada keluarga. Kini semua kerja rumah akulah yang
mengerjakannya. Dia tiada waktu lagi menolong seperti dulu. Aku hanya terdiam,
bengong memandangi mereka. Aku hanya
wanita tua yang dipanggil ‘Nenek’ oleh mereka, berpuluh tahun mengabdi di rumah
ini. Namun, rumah ini tiada seindah dulu, kehangatan, canda tawa, kebersamaan
silam telah sirna. Seperti dirampas oleh benda pipih tersebut. Raga mereka
bersama. Namun, tidak dengan jiwanya, seperti dunia lain. Ya, mana kumengerti
dengan kehebatan benda pipih tersebut, karena mana ada dimasa mudaku dulu.
Ponsel hanya kecil merek Noki* yang hanya bisa menelepon serta menerima panggilan jika anak serta cucu di kampung menelepon. Neng Alya menyebutnya Hp senter.
Pernah Neng
Alya meminjamkan benda pipih tersebut, dan hebat, sungguh menakjubkan. Aku kagum, kok bisa berbicara tatap muka langsung dengan anak serta cucu-cucuku di kampung.
Kutanyakan pada Neng Alya, "Kok, bisa, Cung?"
"Bisalah,
Nek, ini namanya video call. Nek, nanti kalau Mang Asep mau lihat Nenek langsung bilang,
biar Alya video call ‘kan lagi, ya, Nek," jelasnya padaku.
Neng Alya
merupakan anak tunggal Pak Surya dan Bu Desma, ia sudah kuanggap seperti
cucuku. Sejak ia bayi hingga Ia remaja seperti ini tak lepas dari bantuanku,
kurawat dan mengikuti tumbuh kembangnya dengan kasih sayang. Dulu ia sangat
dimanja dengan cinta kasih dari kedua orang tuanya. Namun, kini kedua orang
tuanya terlalu sibuk. Pak Arya mengurus bisnisnya yang berkembang pesat,
sedangkan Bu Desma dengan dunia sosialitanya. Padahal menurutku Neng Alya
labil dan rentan saat ini, dan sangat
butuh perhatian orang tuanya, bukan hanya benda pipih itu terus yang menemani
dan dimainkannya.
Karena khawatir dengan pergaulan Neng
Alya. Sering memberinya nasihat serta wejangan semampuku berdasarkan pengalaman
hidup yang tentunya sudah jauh berbeda
dengan saat ini, yang kadang tak digubris serta ditanggapi dengan dengusan
kesal. Ketahuilah, Cung, wanita tua ini hanya inginkan yang terbaik untukmu, Cung.
Mentari cerah.
Namun, tidak di rumah ini, di balik dinding yang menyekat ruang tamu dan ruang
TV kuberdiri, mengintip. Suara barang yang terhempas serta keramik hiasan rumah
yang pecah berserakan.
"Siapa
yang melakukannya! Jawab!" teriak Pak Arya sambil menunjuk-nunjuk Neng Alya yang menangis, di pelukan Bu Desma
yang juga mengucurkan air mata.
Tiada jawaban,
hening.
Pak Arya
menarik napas dalam, sambil mengurut dadanya. Menahan emosinya yang akan
meledak, lalu terduduk bersimpuh.
"Siapa,
Nak? Jawablah, Nak," lirihnya.
Neng Alya
dengan bibir bergetar, dan wajah penuh ketakutan. Gadis belia itu memandangi Pak Arya dengan
pandangan berkabut karena menangis.
"Valdo,
Pa, pacar Alya," gumamnya dengan suara lemah.
“Dia, harus
bertanggung jawab! Atau—“
Entah apa yang
diucapkan Pak Arya dan yang terjadi selanjutnya. Terkejut, kaki tuaku lemas, semaput. Bolehkah aku menyalahkan benda pipih itu?
Cerpen yang syarat dengan makna
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih ya, udah mampir
BalasHapus