Senin, 04 Juli 2022

Wasiat atau Dendam?- cerpen-H-25





Tubuh  Nenek yang hanya tulang berbungkus kulit itu terbaring lemah. Kening wanita renta yang memang sudah banyak kerutan itu terlihat lebih banyak karena mulutnya tak berhenti meringis. Para tim medis sibuk memeriksa keadaannya. Seorang perawat terlihat sedikit kesulitan mencari urat untuk menyuntikkan jarum sebagai media menyalurkan infus. Dokter pun turun tangan, mengarahkan ke bagian lain, karena beberapa kali suntikkan menimbulkan bekas yang bengkak membiru. Setelah berhasil dipasang dan infus itu telah mengantung di tiangnya, dokter menyuruhku nanti ke ruangannya menghadap, setelah hasil pemeriksaan bagian organ dalam Nenek selesai.


Aku yang cemas, berdiri di sampingnya. Melihat dengan sedikit mengigit ujung jempolku. Mataku sudah berembun, takut membayangkan hal yang tak diinginkan terjadi. Hatiku berselimut kesedihan melihat tubuh wanita yang amat kusayangi tersebut. Faktor usia menjadi hal utama sehingga kesehatan Nenek terus menurun. Hari ini dengan gegas terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. 


Berlahan langkahku mendekati, mengengam telapak tangannya yang dingin. Tanganku yang satu lagi membelai rambut yang telah memutih itu dengan lembut. Nenek—Ibu dari ibuku inilah yang merawatku dan  membesarkanku dengan penuh kasih sayang hingga usiaku menginjak dua puluh lima sekarang.


Semenjak ibuku berada di rumah sakit jiwa, aku lebih memilih ikut tinggal bersama Nenek dari pada  hidup bersama Bapak yang telah menikahi selingkuhannya. Selain ketakutan karena pernah mendengar cerita tentang ibu tiri yang kejam. Aku yang saat itu baru berusia sembilan tahun juga sudah bisa menilai dan begitu benci kepada wanita yang selalu mengelayut manja di lengan bapakku itu. Aku mengerti kehadirannya lah yang telah membuat ibuku sering histeris dan menangis setiap malam. Bahkan melampiaskan amarahnya dengan memukuli tubuhku hingga memar.


Terkadang terpikir olehku kenapa Ibu berubah jadi membenciku. Kemana cinta kasihnya dan kelembutan seorang ibu yang dulu tercurah padaku. Setelah dewasa barulah aku mengerti atas pola tingkah lakunya  ketika itu. Puncaknya pada saat malam itu, Ibu mengamuk dengan membawa pisau dapur setelah bertengkar hebat dengan bapakku. Aku berpeluh dan gemetaran karena takut, hanya mengintip dari balik pintu kamarku. Tak kusangka malam itu adalah malam terakhir kebersamaan yang kami lalui hidup bersama. Beberapa lelaki dewasa dengan pakaian putih melarikan Ibu dengan mobil ambulans yang meraung-raung. Aku yang bocah hanya mendengar kata orang sekeliling yang mengatakan Ibu mengalami depresi. Tenyata gangguan mental yang dialami Ibu itulah menghantarkannya hingga akhir hayatnya.


“Kemari, Cung,” Nenek berucap lirih. Mata yang berselaput karena sudah mengalami katarak itu menatapku lekat. Tangannya terangkat berlahan mengarah ke telingganya. Aku mencondongkan tubuh dan mendekatkan wajahku dengannya.


“Jangan lupa janjimu, Cung.” Bergetar bibir yang tak lagi dihiasi gigi yang lengkap itu berucap.


“I-iya, Nek. Terpenting Nenek sehat terlebih dulu, ya.” Aku berusaha menguatkannya memberi semangat dengan mengalihkan pembicaraan lain, sebisa mungkin agar Nenek tidak membahas janji yang harus kujalankan, aku asal mengiakan saja kemarin. Mengelak terjadinya perdebatan.


“Nenek rasa, udah di ambang mendekati ajal. Nenek minta jangan lupa janjimu, Cung,” ulangnya lagi. Bibir kering itu mengembang sedikit. Tatapan matanya yang teduh yang selalu membuatku nyaman dan selalu ingin bermanja dengannya.


Aku terdiam, aku hanyut bermain dengan pikiranku. Bagaimana bisa aku memenuhi janji yang begitu sulit untuk aku penuhi. Langkahku sudah separuh jalan, tak mungkin kuhentikan. Sia-sia perjuanganku untuk menghancurkan kehidupan bahagia Bapak dengan keluarga barunya itu. Nenek memintaku untuk tidak membalas dendam kepada menantunya itu. Bapak yang tak pantas disebut orang tua menurutku. Ia yang tega mencampakkanku dan mengakibatkan kematian Ibu yang tragis. Tak pernah sekalipun Bapak memperhatikan kehidupan kami. Aku bahkan dianggapnya telah mati seperti Ibu. Aku tinggal dengan Nenek dengan kehidupan materi seadanya. Nenek yang hanya menjadi pembantu, membuatku tumbuh juga dengan keras. Kemiskinan membuatku pribadi yang berjuang mencari receh dengan bergelut kerasnya kehidupan. Rasanya pantas jika aku sakit hati dan akan menghancurkan kehidupan Bapak yang menikmati hasil jerih kerja keras ibuku ketika menjadi TKW. 


“Dendam, akan membuatmu terkurung dengan kebencian, itu juga akan menghancurkan diri sendiri, Cung. Hilangkanlah rasa itu, ingat Allah.” Nenek kembali memohon. Dengan susah payah la mengeluarkan suara dengan diakhiri  menghirup napas dalam.


“Penuhilah, permintaan Nenek!” serunya berusaha menegaskan maksudnya. Karena melihatku yang menatapnya nanar tanpa menyahut perkataannya tadi. Aku masih bungkam tak tahu harus menjawab apa. Membisu.


“Satriadi Adiguna!” Nenek memanggil nama lengkap ku. Acapkali yang Beliau lakukan jika sedang marah padaku.


Tak ada bantahan yang dapat kuucapkan. Anggukan berlahan menjadi responku yang kutampilkan. Secarik senyum tipis menghiasi wajah pucat Nenek. Sementara akunya merasa putus asa karena antara janji dan hasrat melepaskan kebencian yang saling berbenturan. Suasana kembali hening.


 ~

2 komentar:

  1. Bun cerita nya selalu bagus
    Kalo dipasang ke KBM App juga sudah banyak penggemar ini.
    Kalo baca diblog karna latar begrond y hitam jadi saya kesukitan untuk membaca hehe

    BalasHapus
  2. Oh, ok, nanti diganti tema deh, Say😁🙏🥰

    BalasHapus

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...