Jumat, 01 Juli 2022

Penjilat Sejati-cerpen slide of life-setor H-22



Pagi yang cerah, menambah semangatku untuk pergi ke tempat kerja. Sesampai di kantor, kudapati suasana masih sepi. Hanya Mamang Dadang yang baru saja selesai melakukan pembersihan ruangan.


Aku langsung menuju ke meja kerja. Sebelum aktivitas di mulai, kuputuskan untuk ke ruangan kecil di sudut, ingin menyeduh teh hangat menemani awal kerja.


Ketika keluar ruangan, diriku kaget melihat si Bos melintas menuju ruangan kerjanya yang memang bersebelahan dengan ruangan dapur mini ini.


"Selamat pagi, Bu," sapaku ramah.


Ia hanya menggangukkan kepalanya. Sambil tangannya menarik knop pintu serta menghilang di balik pintu.


Tumben datangnya lebih awal, tidak seperti biasanya. Mukanya itu kenapa begitu tanpa senyuman. Ekpresi yang dipasangnya begitu dingin.


Ah, namanya wanita. Mudah labil memang. Sama dengan diriku terkadang  angin-anginan. Moodnya cepat berubah. Mungkin si Bos lagi banyak masalah. Atau lagi PMS jadi sensi bawaannya. Kepalaku menggeleng menepis berbagai pemikiran yang bermunculan.


Kembali ke meja kerja mulai dengan aktivitas di depan layar yang terpampang di hadapanku. Seiring dengan teman kantor lainnya yang berangsur berdatangan.


Beberapa menit lagi istirahat siang, aku bergegas mengemas meja. Mematikan laptop, dan akan makan siang di tempat langganan biasa, di seberang kantor.


"Tar, disuruh Ibu Bos ke ruangannya, tuh," ujar Sela yang baru saja keluar dari ruangan ujung tersebut.


"Ada apa ya?"


"Tak tau tuh ... buruan dah, ke sana gih," jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya.


"Oh, oke, deh," ucapku sambil tersenyum manis memamerkan susunan gigi putihku seraya berlalu.


Mengetuk pintu, terdengar sahutan dari dalam.


"Masuk!"


Pintu kugeser, terlihat wanita yang menginjak usia hampir menuju empat puluhan itu, duduk di kursi putarnya sambil memainkan pena yang diketukkan ke meja.


Senyumanku merekah, serta menundukkan sedikit badanku berjalan menuju kursi yang berada di depan mejanya. Senyumku tak terbalas justru pandangan sinis, diiringi mukanya keruh. Membuat hatiku tak nyaman, biasanya beliau pribadi yang ramah dan hangat. Namun,  kali ini berbeda yang menimbulkan tanya di benakku.


"Duduk!" tawarnya dengan singkat. Setelah posisi kami dekat.


Dengan berlahan mengambil posisi menghentakkan bokongku pada kursi empuk tersebut. Mataku masih sungkan untuk beradu tatap pada mata yang seakan terpijar kebencian itu. Perhatianku justru kepena yang diketuk-ketuk itulah pandanganku tertuju. Tiba-tiba berhenti seiring dengan ucapannya.


"Kamu tahu kenapa dipanggil?" Tanyanya sambil mencondongkan tubuhnya ke depan serta memandangiku dengan lekat.


"Tidak tahu, Bu," jawabku sambil menggeleng kepala serta menantang matanya dengan pandangan sayu. Mana berani kubalas dengan tatapan garang juga.


Seingatku tidak ada melakukan kesalahan baik di bidang pekerjaan maupun kedisiplinan kerja. Datangku selalu tepat waktu. Selama  tiga bulan baru bekerja di sini tidak ada membuat masalah.


"Saya peringatkan! Jika kamu masih ingin bekerja di sini kamu harus bisa menjaga sikap, mengerti!" Ucapan penuh penekanan itu terceplos dari bibir pinknya. 


"Maksudnya, Bu? Saya merasa tidak ada melakukan kesalahan." tanyaku dengan memasang wajah bingung.


Karena memang kutak mengerti kemana arah pembicaraan wanita anggun dan kharismatik ini.


"Baiklah! Jika kamu belum juga paham, akan saya paparkan kesalahan kamu. Kamu telah mengatakan hal yang negatif tentang saya dan itu sampai ke telinga saya, coba kamu ingat!"


Aku terdiam dan mengenang kembali obrolan dua hari yang lewat disaat kami lagi makan siang. Terbayang bagaimana  hebohnya pembicaraan.


"Apa yang Ibu maksud obrolan makan siang kami yang dua hari yang lalukah?" tanyaku meyakinkan lagi.


"Kira-kira begitulah. Dan bisa saja konsekuensinya kamu akan saya pecat. Mau?" ucapnya dengan gaya mengintimidasi.


Sejenak aku tercenung, pikiranku melayang ke ingatan pada empat wajah teman yang bersamaku saat itu. Dalam hati bertanya-tanya siapakah gerangan yang jadi pelapor . Apa si Sela teman dekatku yang selalu bersama pulang pergi kerja boncengan sepeda motor.  Si Mila yang cerewet namun baik hati. Si Ardi yang lebay melambai yang suka mengosip. Atau si Susan Ndut yang super heboh. Belum ketebak siapa, timbul rasa ingin tahu, dan mencoba untuk menanyakan langsung pada Bu Susi.


"Baiklah Bu, boleh saya melakukan pembelaan, mana berani saya mengatai Ibu, fitnah itu Bu. Kalau boleh saya tau siapa yang memberitahu hal itu kepada Ibu?"


"Kamu tidak perlu tahu siapa yang melapor ke saya," pungkasnya cepat.


"Maksud saya, bisa dihadapkan ke saya Bu. Saya bersumpah tidak ada berbicara yang buruk tentang Ibu, saya hanya mendengarkan saja omongan mereka," ucapku meyakinkan.


"Dia minta dirahasiakan!"


Akhirnya kalau begini, sepertinya jurus terakhirku harus keluar . Dengan tenang mengeluarkan ponsel dari kantong baju kerja serta membuka aplikasi rekaman suara.


"Mungkin Ibu perlu mendengar rekaman ini, bukti otentik sekaligus sebagai alibi saya. Mohon Ibu mengenali suaranya"


[Eh, kalian tau enggak, Si Bos kita kemaren dilabrak lo, dituduh pelakor] Suara Sela sedikit berbisik.


[Ah, serius lu?] Suara Susan Ndut agak melengking karena terkejut.


[Dapat gosip dari mana lu] suara Mila yang cempreng.


[Ada deh, sumber dapat dipercaya] Suara Sela.


[Trus?] Tanya Ardi.


[Ya berantem la, tapi tak tau sekarang gimana kelanjutannya] Suara Sela.


Terdengar bunyi riuh hiruk-pikuk piring beradu.


[Di, ambilkan tisu tuh, cemong gue nih] suaraku meminta tolong pada Ardi.


Terdengar kembali suara Sela memulai percakapan.


[Terang aja, ganjenkan kelamaan janda sih, ya ngak Tar?] tanyanya padaku, saat itu ku hanya tersenyum sambil mengacungkan jempol. Mana mau aku menanggapi, jelas aku lagi merekam. Lanjut makan soto dengan lahap.


[Si Bu Susi, mah kalau kita telat ditegur la dianya aja sering tak ontime. Mana adil jadi bos, ya kan?"]

Suara Sela.


[Ho-oh, mentang-mentang jadi bos memang kadang seenaknya aja]

Suara Mila.


[Jangan-jangan kelamaan dandan tuh, kan ke kantornya tampilan kece badai banget kayak eike lo] Suara Ardi


Suara kekehan tertawa kami yang hampir bersamaan.


[Eh, udahan ntar kedengarannya karyawan lain, baru nyaho kita. Yuk buruan kita ke mushola] ajakku.

Sambil kami beranjak dari tempat makan tersebut.


[Lipstik kemarin jadi lu beli Mil? Berapa jadi har ...] Rekaman terputus karena kutelah mematikan rekaman ponsel.


Wajah Bu Bos Susi memerah, tanpa sadar menyebut nama Sela dengan lirih bercampur geram. Tangan sebelahnya mengepal menahan emosi. 


"Apa Sela yang bilang Bu?"


Ia hanya mengangguk pelan. Tangannya memijit kepalanya.


Sela, Sela teman kok gitu amat ya. Ternyata dialah si pengadu dan memfitnah. Aku sadari dia sering terlihat julid dengan kemampuan kinerja dan perhatian dari semua rekan maupun dari Bu Bos Susi kepadaku.


Belum tahu dia, akulah penjilat sejati. Sebenarnya rekaman itu nantinya akan kutunjukkan juga kepada atasan kami itu. Agar Sela bisa angkat kaki dari kantor ini. Dan aku tidak ada saingan lagi. Namun, aku ternyata keduluan. Cuma cara mainnya  Sela masih manual, hadeh ... kini udah bukan

zaman main lapor gitu aja. Harus ada bukti digital yang menguatkan seperti caraku ini.


Senyum seringaiku mengembang, tatapan sinis ke luar jendela penuh arti. Tinggal menunggu dan menonton peristiwa apa yang terjadi selanjutnya.


"Saya kira, Ibu bisa bijaksana mengambil keputusan. Boleh saya pamit." 


Membuat  lamunan beliau buyar. Menganggukkan kepala dengan senyumnya yang dipaksakan.


~

3 komentar:

  1. Semangat berkarya terus Ibu Megawati. Terima kasih (Guru Dion Indonesia)

    BalasHapus
  2. Keren...harga cabai lagi mahal. Gara2 cabai bisa jadi sebuah tulisan .
    Salam sehat dan sukses ..

    BalasHapus

Wanita dan Skincare

  Skincare diambil dari Bahasa Inggris yang artinya skin artinya kulit sedangkan care artinya peduli jadilah skincare   adalah berbagai   ...