Aku merasa rindu menguasai raga, berharap hadirmu
meredam gemuruh mengulung gelora di hati. Rindu ini bahkan seperti duri,
menancap perih melahirkan risau bermuram durja. Seiring resah berlapis harap
bahkan pilu. Ini gila! Tapi ini juga aneh sekaligus hal yang tak aku mengerti.
Bagaimana bisa? Perasaan ini jelas salah. Jodoh, tak dapat diraih. Ikatan suci
itu tak bisa kugenggam, apalagi merengkuhmu. Betapa pun hasrat ini begitu
menggebu, lagi-lagi aku terhempas pada kenyataan. Tak mestinya aku merindukan
yang bukan milikku, tepatnya ada batasan atau sekat yang amat kokoh. Seperti
lagu duet Broery Marantika dan Dewi Yull, lirik tembang lawas, sempat hist pada masanya itu seakan
menyindirku. ‘ Terlarang sudah rinduku padamu.’
Di toilet, aku berteriak histeris,
kedua tangan meremas rambut dengan kuat. Dilema antara memperjuangkan cinta
atau memupuskan impian tuk bisa memilikimu selamanya. Menatap cermin di
hadapanku. Pantulan itu tampak berdiri seorang
pria kurus dengan wajah tirus, kuyu,
lalu menerbitkan seringgaiannya.
“Menyedihkan! Apa yang kau lakukan
selama ini. Hanya jadi penguntit, hah!” ejeknya.
“Aku mencintai Alisa dengan seluruh
jiwa ragaku,”cetusku.
“Tidak akan menjadi milikmu, tidak
akan pernah!”
“Tidak! Tidak boleh terjadi!”
pekikku cepat.
“Dia telah jadi milik orang,
dan kau? tak berdaya.” Kembali bayangan
pada cermin itu melolong memprovokasiku.
“Tidak! Alisa milikku! Hanya
milikku! Selamanya!” pekikkanku menggema seraya menatap cermin dengan lekat.
Terlihat urat leher yang menonjol,
tetapi bayangan itu membalas dengan senyuman tipis meremehkan. “Tidak,” lirihku
putus asa.
“Jika cinta berjuanglah, untuk itu.
Rebut Ia dari pria itu,” hardiknya dengan mata merah melotot, dalam pandanganku
wajah pantulan cerminku itu seperti monster yang menyeramkan.
Terdengar tawa nyaring seperti
mengolokku memenuhi ruangan berukuran
tiga kali dua meter tersebut, membuat telinga penuh dengan
dengungan seperti lebah. Kedua tangan
menutupi telinga. Kepala berdenyut, dada sesak seakan kehabisan oksigen, mata panas dan pandangan berkabut. Mengalirkan buliran
bening lolos dari kelopak mataku. Dengan sigap meraih pengepel lantai yang tak
jauh dariku, melempar ke arah cermin
tersebut. Menciptakan hanya retakan besar, rasanya belum puas, mencari benda lain apa saja, gayung,
ember, sapu, kembali menghantamkan ke
cermin dengan keras, akhirnya hancur berderai. Rasanya terbayar amarahku
melihat bayangan yang seakan mewakili dunia yang tak berpihak padaku itu menjadi serpihan. Untungnya tiada orang
yang masuk ke ruangan ini karena pada
jam sibuk semua. Hanya bisa duduk berselonjor
tersandar dengan pandangan kosong menerawang.
Ini tidak adil, aku pun berhak tuk
bahagia. Apa yang kuimpikan harus dapat
kugapai apa pun itu halangannya akan kulawan. Bukankah selama ini telah bersabar dan menunggu saja. Hanya
penderitaan dan kesendirian yang setia
mewarnai hidupku. Lelah, mengapa duniaku tak seindah cahaya mentari yang
mentereng. Tiada kasih sayang, perhatian dari orang tua maupun dari
sekeliling yang kuterima. Hanya
pandangan iba selalu menyertai hidupku. Kasihan!
Kali ini, tiada pilihan lain.
Keputusanku telah bulat, menjadi tekad yang tak bisa diganggu gugat. Rencana
terakhir akan kulakukan untuk mendapatkanmu secara utuh.
Sepertiga malam aku terbangun, demi apa? Apakah
untuk menengadahkan tangan pada tuhan si pemilih jagad, mengucapkan namamu
dalam doa yang kutumpahkan? Bukan! Lebih tepatnya ingin menjadikanmu ratu abadi di hatiku dan
juga pada dunia nyata. Bukan hanya kasat di dalam rasa. Aku menyiapkan ritual
acara, menyebutkan namamu dalam mantra di atas sesajen beraroma kemenyan.
Persekutuanku dengan makhluk astral pun dimulai. Kedua sudut bibirku terangkat,
mataku berbinar. Kegelisahan akan melandamu dan hanya aku yang kau damba
tentunya.
~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar