🚗
Aku baru
saja selesai membuatkan teh untuk Bapak. Segera aku antar ke teras, dia memang
setiap sore sangat suka duduk di depan rumah. Saat aku menghampiri, bapak duduk
bukan menghadap jalan, tetapi kursinya bergeser menghadap ke garasi.
Wajah yang
banyak kerutan itu terlihat termangu menatap kosong pada mobil Innova putih
yang terparkir.
“Pak,
tehnya,” sapaku membuat beliau tersadar dari lamunan. Aku letakkan pada meja
kecil di sisinya.
Lelaki yang
berusia hampir enam puluh dua itu tersenyum hambar. Dia menghela napas berat, seperti ada beban
berat yang sedang dirasakan.
“Nay, kita
jual saja mobil ini ya,” lirih Bapak berucap.
“Kenapa,
Pak?” tanyaku dengan kening berkerut. Bapakku merupakan pensiunan ASN di suatu
lembaga pemerintahan yang bisa dikatakan sukses. Rumah besar dan memiliki mobil
pribadi, semenjak Ibu tiada dan dari hasil rembukan kami lima bersaudara maka
akulah sebagai anak bungsu pindah menemani Bapak.
“Semenjak,
Makmu tiada, bapak pensiun dan vonis dokter semalam rasanya hidup Bapak tiada
arti lagi dan tidak akan lama lagi.” Bapak berucap memandang sayu padaku.
Memang semalam kami mendapat berita buruk dari hasil pemeriksaan kesehatan
Bapak yang mengejutkan.
“Bapak jual
mobil, untuk biaya berobat? Bapak jangan pikirkan itu, kami semua bisa
patungan, Pak,” ucapku memberikan solusi atas keresahannya akan biaya
berobatnya nanti. Aku berani berucap demikian karena kakak serta abangku
semuanya telah hidup senang di kota lain. Jika aku minta untuk kebutuhan Bapak
mereka semua dengan sigap menstranfer. Lagi pula jika mobil tersebut dijual
bagaimana suamiku nanti akan pergi bekerja. Selama kami tinggal di sini, maka
mobil tersebut diambil alih suamiku, untuk ke kantor dan kendaraan untuk kami
jalan-jalan tentunya.
“Bukan untuk
berobat …” Suara Bapak bergetar. Ia menundukkan kepala sebentar. Sejurus
kemudian matanya beralih dari memandangi lantai lalu menghadapku. Beliau terlihat
seperti orang yang putus asa. Kedua matanya yang keruh dan berselaput itu
berkaca-kaca.
“Kalau bukan
untuk itu, jadi untuk apa?” tanyaku dengan menatap lekat mata Bapak.
“Ba-pak, mau
ju-jur, mobil ini Bapak beli dari hasil korupsi, Nak. Jika dijual maka uangnya
bagikan saja ke masjid, Bapak menyesal,” Kini kedua bahu bapakku terguncang
karena tersedu. “Mobil ini tidak halal,” sambungnya lagi dalam sela tangis
lelaki tua di depanku ini.
Aku terdiam,
sudah kuduga sedari dulu. Aku tahu saat aku SMA dan kuliah. Bagaimana mungkin
gaji dan pendapatan Bapak mampu membuat kami berlima kuliah di universitas
terkemuka. Cuma sebagai anak, aku takut menegur atau menanyakan hal tersebut.
Untung saja atau mungkin Bapak termasuk koruptor yang beruntung tidak ketahuan
dan berakhir di balik jeruji besi.
“Mengenai
itu, nanti Nay sampaikan dengan Mas Danu, ya, Pak. Sudah, Bapak jangan sedih lagi.
Itu tandanya Bapak sudah menyesal dan menyadari kesalahan Bapak, mohon ampun
kita sama Tuhan juga, Pak.” Aku mengelus-elus bahu Bapak.
***
"Jadi, Mas ke kantornya balik lagi pakai sepeda motor, dek?" tanya mas Danu terlihat mukanya masam. Setelah aku menceritakan rencana Bapak padanya.
"Ya, mau gimana lagi, Mas? Tadi semua udah kutelpon, kata mereka setuju saja," ucapku sembari mengambil posisi rebahan di sampingnya.
Wajah lelaki yang telah hampir tiga tahun membersamaiku itu masih terlihat cemberut.
"Kalau Mas, nggak setuju kita akalin aja, gimana?" ucapku penuh semangat. Aku harap ekspresi suamiku itu berubah.
"Serius, gimana? Gimana rencana kamu?" Mas Danu antusias dengan mendekatkan tubuhnya padaku.
Aku membisikkan sesuatu pada telinganya. Ia pun tersenyum mengembang dan mengangguk-angguk.
~
NEXTkah?
Masya Allah
BalasHapusNext lah..
BalasHapusBisikan apa tuh? 😁
BalasHapusKeren, Ditunggu lanjutannya.
BalasHapuswaw, makasih ya man- teman pada baca ya, aku jadi malu, berusaha untuk ngelanjutin ceritanya nih jadinya
BalasHapus