Selesai
menyusun barang-barang bersama Si Amat---kenekku, lebih tepatnya kami
sebenarnya sama saja, karena kami terkadang gantian menjadi supir. Cuma
seringkali jam terbangku lebih banyak dibanding Amat. Ia hanya menggantikan
jika aku lelah tak tertahan atau ngantuk berat. Aku segera mengambil posisi di
belakang kemudi, disusul beberapa penumpang yang tadinya masih di luar, memasuki bus. Aku melirik lewat kaca, memperhatikan
aktivitas mereka. Sudah duduk manis di bangkunya masing-masing. Tak lama
kemudian Amat muncul dengan senyum semringah. Dia selalu begitu, terlihat ceria. Sebelum Ia mengambil posisi duduk di sampingku. Ia menghadapkan badannya ke arah para penumpang.
“Siap
semua, kita berangkat!” serunya, lalu mulutnya bergerak pelan membaca doa
bepergian dengan lirih. Dia memang lebih taat beragama dibanding denganku yang
masih suka bolong dengan ibadah.
“Siap!” Sahutan serempak terdengar.
“Lanjut!” Serunya Si Amat kepadaku.
“Yo!”
Hanya
beberapa saja yang menyahut, yang lain banyak memilih diam. Bersiap menikmati
perjalanan yang memakan waktu lama melintasi antar provinsi.
“Musik,
Pir. Jangan lupa,” celetuk seorang anak muda bertopi hitam yang duduk tepat di
belakangku. Diikuti anggukan teman wanitanya yang juga memakai warna baju senada.
Aku
bersiap mengemudikan bus, membelah jalanan. Beriringan dengan kendaraan lain.
Musik lagu dangdut koplo dan pop mengalun
keras yang disetel oleh Amat. Hari ini perasaanku tidak nyaman. Karena sebelum
berangkat kerja terjadi pertengkaran hebat di rumah. Istriku membuat kesal
dengan desakkannya yang terus menderaku. Dia meminta uang dengan jumlah yang
tidak sesuai dengan pendapatanku. Hal ini terjadi karena Ia ikut arisan sekali
seminggu yang harus di bayar tepat waktu. Sebagai suami aku sebenarnya
mendukung jika itu bisa dianggap sebagai menabung. Karena ketika mendapatkan
arisan Ia terlihat sangat bahagia, dan ada target barang yang sudah
diimpikannya akan dipesannya melalui belanja online. Kami belum memiliki
momongan selama dua tahun pernikahan berjalan. Semula berjalan mulus, tetapi
wanita yang kunikahi secara siri itu, justru menambah nilai nominal arisan di
perumahan kontrakkan kami itu tanpa berkomunikasi dulu denganku. Aku semakin
keteteran, kewalahan mengelola membagi penghasilan. Istri tua dan kedua anakku
juga butuh untuk aku nafkahi. Timbul rasa penyesalan mengapa sampai terjebak
berpoligami. Tanpa sadar dengan diri yang belum mampu adil dalam banyak hal.
Sementara untuk kebutuhan hidup saja terkadang aku bisa terjebak hutang dengan
bos maupun dengan teman sesama supir.
Aku
terkesiap, dengan cepat menginjak pedal rem, memutar kemudi kearah kiri jalan
dengan cepat. Bus semula dengan kecepatan tinggi itu pun menimbulkan decitan
suara gesekan ban dengan aspal. Jeritan suara dari beberapa penumpang wanita
terdengar keras. Bus pun berhenti dengan posisi sedikit melintang. Didukung
keadaan hanya ada bus kami serta sepeda motor yang kuhindari itu saja yang
melintas di jalan. Jika tidak, bisa saja akan mengakibatkan kecelakaan. Aku tadi hanyut dalam lamunan, termenung, karena memikirkan istri ke
duaku, sehingga kemudi oleng tanpa sadar hampir saja menyenggol sepeda motor
yang berlawanan arah dengan kami. Untung
saja aku tadi sempat membanting setir ke kiri dengan cepat tanpa sempat
menyentuh pembatas jalan.
Kami
semua berwajah tegang. Karena di rem
secara mendadak, banyak yang posisinya merosot ke depan. Bahkan ada penumpang
yang memegang keningnya yang terbentur dengan kursi di depannya. Nenek yang
duduk di tengah, berwajah pucat, sampai berulang kali mengucapkan istigfar
sembari mengelus dadanya. Anak kecil di sisinya menyodorkan minuman botol,
terlihat khawatir dengan kondisi wanita renta tersebut..
“Hati-hati,
Pir!” protes penumpang. Terdengar suara sosok pria berbaju kaos berkerah yang
sedang berdiri menampilkan wajah bengis.
Suasana
riuh seperti suara-suara lebah tidak begitu jelas. Karena hampir semuanya
seperti mengerutu mengeluarkan sumpah serapah.
“Kenapa
Lu? Ngantuk? Ya udah gantian, sini!” Si Amat bersiap berdiri menganti posisiku.
“Masam
aja muka tu kutengok dari tadi pagi?”ucapnya sembari mulai menjalankan bus.
Aku
hanya diam tertunduk. Sakit kepala menyerang. Ke rumah istri sah, berantem
karena ia mulai curiga dengan tindak tandukku yang mulai berubah.. Ke rumah
istri kedua juga ribut karena ia menadah tangan lima ratus ribu harus tersedia
dengan segera untuk tagihan arisannya yang baru dimulai.
“Pusing
aku! Kelahi terus di rumah!”
“Tu
kan, apa gue bilang. Elu sih nurutin hawa nafsu aja, mo poligami juga!”
cetusnya dengan senyum mencebik dan mengelengkan kepalanya.
“Selesaikan
masalah yang telah Lo mulai. Pesan gue satu lagi ni, Nton. Ketika Elo bawa bus
ada tanggung jawab berat, nyawa penumpang prioritas utama, konsentrasi penuh
mengendarai!”
Aku
mengangguk tanda setuju, walau perasaan kalut masih melanda. Pekerjaan yang
kulakukan tak boleh lalai. Karena ada jiwa yang harus kuantar ke alamat tujuan dengan selamat. Aku
harus profesional sebagai orang yang hidup di atas roda, menghabiskan waktu di jalanaan,
walau mungkin akan sial dalam hidup
rumah tangga karena ulahku sendiri. Tembang legendaris P.Ramlee dilantunkan
ulang oleh band Ahmat Dhani yang berjudul ‘Madu Tiga’ mengalun di dalam bus.
Aku tersindir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar