Menjadi seorang janda bukanlah mudah. Sayapku tak lagi dua, dalam menjalani kehidupan. Tempat bersandar, mengadu dan bermanja itu telah pamit terlebih dahulu. Himpitan ekonomi begitu berat.
Aku terus mencoba bertahan, menjadi sosok pencari nafkah
demi kelangsungan hidup. Ada tiga nyawa yang harus kuhidupi. Anak yatim yang
meski aku besarkan dengan menjadi sosok ibu maupun bapak bagi mereka.
Apa daya terbatas kemampuan, hidup seadanya, pas-pasan.
Bermodal tenaga dan dana sedikit, aku berjualan di kantin Sekolah Dasar yang tak jauh dari rumah.
Pukul 03.00 dini hari aku harus sudah mempersiapkan segala
masakan berupa lontong gulai, miso ceker dan cemilan gorengan yang akan kujual.
Seharian tubuh ini bergelut dengan pekerjaan yang terkadang penghasilannya hanya seadanya. Untungnya si sulung yang
telah remaja turut membantu. Sedangkan yang nomor dua, telah menginjak kelas 6
SD mengurus keperluan sang adik yang masih duduk di kelas 3.
Pandangan masyarakat terhadap janda, aku akui tatapan mereka
iba. Namun, di balik itu para kaum wanita tak sedikit merasa sinis, ketakutan ,
kami menganggu suami mereka. Mereka kira
kami berpotensi menjadi pelakor dalam
rumah tangganya.
Belum lagi tatapan, kerling nakal, atau tingkah polah
bapak-bapak yang seakan merendahkan atau melecehkan. Berbagai modus juga bahkan
dimunculkan. Bagaimana kami bersikap terkadang disalah artikan. Ramah dianggap
ganjen, bersikap tegas dicap sok dan sombong. Tak sadar diri, kata mereka.
Kami, para janda, jangan dipandang sebelah mata. Dalam cinta
kami tak akan menyerahkan hati begitu saja. Ada anak yang akan tetap menjadi
prioritas utama. Tak mungkin akan kami relakan memiliki bapak sambung yang tak
sayang kepada mereka.
Meskipun, kata dunia kami kesepian. Ada hasrat gelora
terpendam yang meski ditahan. Kami janda, wanita kuat yang sadar bahwa cinta bisa membutakan, dan terkadang tipuan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Semoga bisa menjalani dan menghantarkan anak-anak ke masa depan yang cerah. Walau,
rasanya tak mudah.